SOLOPOS.COM - H.M. Soeharto (Alm.) (asiantribune.com)

Tanggal 21 Mei 1998 menjadi catatan khusus dalam sejarah kepemimpinan Soeharto di Indonesia.

Solopos.com, SOLO — Mei 1998 bagai bulan kelam dalam sejarah Indonesia. Bagaimana tidak? Dalam bulan itu, terjadi banyak peristiwa kerusuhan yang memakan korban dan berujung dengan kemunduran Presiden kedua RI Soeharto.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Sebagaimana dihimpun Solopos.com dari Liputan6, Jumat (20/5/2016), peristiwa kerusuhan di lingkungan Kampus Trisakti, Jakarta Barat, 12 Mei 1998, masih menyisakan luka bagi keluarga mendiang Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.

Empat mahasiswa tersebut tewas oleh peluru aparat kepolisian dan tentara yang bertugas menghalau demo protes mahasiswa tentang pemerintahan Soeharto. Empat mahasiswa itu tumbang di antara ribuan mahasiswa lain yang ikut dalam demo.

Gugurnya keempat mahasiswa itu sendiri dikenang sebagai Tragedi Trisaksi dan secara otomatis memantik kemarahan seluruh mahasiswa di penjuru Tanah Air ketika itu.

Pada 13 Mei 1998, kerusuhan di Jakarta pecah, termasuk di Solo. Protes terhadap Soeharto, yang baru saja dilantik kembali menjadi presiden untuk ketujuh kalinya, meluas hingga hampir di seluruh daerah di Indonesia.

Kerusuhan makin parah pada 14 Mei 1998. Tak hanya aksi anarkis, aksi penjarahan dari oknum tak bertanggung jawab pun melanda Ibu Kota negara dan menyebabkan banyak WNI etnis Tionghoa mengungsi ke luar negeri. Ketika itu, para demonstran juga mengepung dan menduduki gedung-gedung DPRD di daerah.

Keributan di Tanah Air ini lantas membuat lawatan Soeharto di Kairo yang seharusnya sepekan, terpaksa diperpendek. Soeharto sampai di Indonesia pada 15 Mei 1998.

Saat Soeharto tiba di Tanah Air, kerusuhan dan penjarahan masih berlangsung. Tercatat sekitar 500 orang menjadi korban tewas. Warga asing pun turut dievakuasi ketika itu.

Pada 17 Mei 1998, kabar mengejutkan datang dari Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya, Abdul Latief, yang mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden Soeharto dengan alasan masalah keluarga, terutama desakan anak-anaknya.

Selanjutnya, pada 18 Mei 1998, Ketua MPR/DPR ketika itu, Harmoko, meminta Presiden Soeharto mundur.

Pada 19 Mei 1998, Soeharto berdiskusi dengan sejumlah tokoh masyarakat, yaitu Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid, budayawan Emha Ainun Nadjib, Direktur Yayasan Paramadina Nucholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ali Yafie, Prof Malik Fadjar (Muhammadiyah), Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), serta Achmad Bagdja dan Ma’ruf Amin dari NU. Sementara itu, mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR, meminta Soeharto lengser.

Dihimpun dari pelbagai sumber, pada 20 Mei 1998, sekitar pukul 23.00 malam WIB, Soeharto memantapkan keputusannya untuk menyerahkan kursi kepresidenan kepada Wakil Presiden Baharudin Jusuf Habibie.

Keesokan harinya, 21 Mei 1998, pada pukul 09.00 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Dalam prosesi pengunduran dirinya, Soeharto mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada seluruh rakyat Indoensia dan meninggalkan halaman Istana Merdeka didampingi ajudannya, Kolonel (Kav) Issantoso dan Kolonel (Pol) Sutanto (kemudian menjadi Kepala Polri). Mercedes hitam yang ditumpanginya tak lagi bernomor polisi B-1, tetapi B 2044 AR.

Di tanggal 21 Mei 1998, Soeharto resmi lengser setelah 31 tahun berada di kursi kepresidenan. Secara otomatis, B.J. Habibie menjadi Presiden keempat dan mengumumkan susunan kabinet baru bernama Kabinet Reformasi, pada 22 Mei 1998.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya