News
Rabu, 30 Desember 2020 - 11:41 WIB

Yuk, Budayakan Malu Jika Abai Protokol 3M

Cahyadi Kurniawan  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi orang memakai masker. (Freepik)

Solopos.com, SOLO--Masyarakat perlu membangun budaya malu jika tak mematuhi protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan serta mencuci tangan pakai sabun. Budaya malu ini penting untuk menekan penularan Covid-19.

Data Satgas Penanganan Covid-19 memperlihatkan ada 52 persen warga Indonesia yang terbiasa dengan protokol 3M dalam kehidupan sehari-hari. Namun, masih ada 48 persen populasi yang cenderung menjalani protokol dengan terpaksa. Meski demikian, keterpaksaan ini diharapkan segera berubah menjadi kebiasaan.

Advertisement

Saat menjadi budaya, orang yang tidak memakai masker, tidak menjaga jarak dan malas mencuci tangan akan dikucilkan atau disalahkan. Dengan begitu, orang yang melanggar norma ini akan merasa malu. Rasa malu yang sama misalnya terlihat saat ada orang yang menerobos antrean.

“Kami mengajak masyarakat agar punya norma baru mereka yang tidak mau pakai masker, membuat kerumunan, malas mencuci tangan adalah orang-orang yang tidak sesuai norma baru kita,” kata Ketua Bidang Perubahan Perilaku STPC 19, Sonny Harry B Harmadi, dalam talkshow virtual yang digelar Satgas Penanganan Covid-19, Rabu (23/12/2020).

Advertisement

“Kami mengajak masyarakat agar punya norma baru mereka yang tidak mau pakai masker, membuat kerumunan, malas mencuci tangan adalah orang-orang yang tidak sesuai norma baru kita,” kata Ketua Bidang Perubahan Perilaku STPC 19, Sonny Harry B Harmadi, dalam talkshow virtual yang digelar Satgas Penanganan Covid-19, Rabu (23/12/2020).

Punya Nyanyian Unik, Populasi Paus Biru Baru Ditemukan Di Samudra Hindia

Tingkat Penularan Tinggi

Selain itu, masyarakat juga harus sadar bahwa kondisi sekarang masih dalam masa pandemi dengan tingkat penularan yang tinggi. Situasi ini mendorong masyarakat harus lebih sabar menghadapi perang melawan Covid-19.

Advertisement

Padahal, pada saat perang dunia kesatu berlangsung, orang-orang bertahan di rumah. “Ini berbahaya dan kita harus patuhi protokol kesehatan. Liburan ini jangan bepergian dulu,” ujar dia.

Jika terpaksa bepergian, warga wajib mematuhi protokol kesehatan. Warga harus membawa masker dalam jumlah yang cukup dan disiplin menjaga jarak dan mencuci tangan.

“Setiap libur panjang terjadi penurunan kepatuhan protokol kesehatan. Memakai masker dan cuci tangan itu keputusan individu. Menjaga jarak keputusan bersama. Kerumunan paling sulit padahal kerumunan berpotensi menularkan sangat tinggi,” ujar Sonny.

Advertisement

Sejarah Hari Ini: 30 Desember 1949 Batavia Jadi Jakarta

Kesadaran Kolektif

Pentingnya kesadaran kolektif untuk mencegah penularan Covid-19 disampaikan Khoiru Umatin dalam Bunga Rampai Covid-19 dan Transformasi Keberagaman dari Pusat Studi Dakwah dan Transformasi Sosial (PSDT) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Khoiru menuliskan kombinasi normal sosial dan norma yang memiliki daya paksa kepada individu menjadi suatu keharusan.

Norma sosial ini lahir dari proses rembuk dusun seperti yang terjadi di Bintaran Wetan Srimulyo, Piyungan, Bantul. Warga dusun merumuskan kesepakatan-kesepakatan untuk melawan Covid-19 dil wilayah mereka. Kesepakatan itu misalnya melarang perantau pulang kampung dan melarang warga Bintaran keluar wilayah DIY.

Advertisement

Warga juga menerapkan kebiasaan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), memeriksakan warga yang sakit ke Puskesmas, meniadakan segala bentuk kumpulan hingga larangan menyebarkan berita hoaks terkait Covid-19.

“Warga Bintaran yang berhasil merumuskan norma penting untuk dijadikan acuan dalam menghadapi pandemi corona. Warga dusun menyosialisasikan norma dan mulai membatasi pergerakan orang-orang yang keluar-masuk dusun melalui penjagaan 24 jam secara bergantian,” tulis Khoiru.

Koordinator RS Darurat Covid-19, Tugas Ratmono, mengatakan disiplin protokol kesehatan harus dilakukan secara konsisten. Peran masyarakat ini sangat besar untuk memutus rantai penularan. Usaha ini sangat berharga bagi para tenaga kesehatan yang berjuang di rumah sakit.

“Kuncinya mengendalikan penularan di komunitas atau masyarakat. Masyarakat adalah garda terdepan. Rumah sakit adalah benteng terakhir. Kalau ada yang sakit baru ke rumah sakit. Masalahnya kami sudah siapkan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tapi ada batasnya. Jumlah ini tidak proporsional dengan jumlah pasien yang masuk sehingga terjadi kewalahan,” ujar Tugas.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif