News
Senin, 6 September 2021 - 19:45 WIB

Untuk Amendemen UUD 1945, Koalisi Pemerintah Cuma Butuh 3 Kursi Lagi

Newswire  /  Jaffry Prabu Prakoso  /  Abu Nadhif  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR/DPD 2021. (Bisnis.com-Youtube DPR)

Solopos.com, JAKARTA – Wacana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kembali mencuat setelah bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) menjadi ke koalisi pemerintah.

Isu melebar pada mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai bergabungnya PAN membuat dukungan suara koalisi pemerintah di parlemen menjadi 471 kursi.

Advertisement

Total anggota MPR saat ini adalah 711 orang. Jumlahnya terdiri atas 575 anggota DPR dan 136 Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Padahal untuk mengusulkan amendemen dibutuhkan sepertiga dari anggota MPR.

Disepakati 474 Kursi

Saat disetujui dan dibawa dalam rapat paripurna, harus disepakati lebih dari setengah anggota atau 474 kursi.

“Sehingga kalau dilihat oleh pemerintah di DPR, hanya membutuhkan tiga orang lagi untuk kemudian memastikan rapat paripurna usulan perubahan undang-undang dasar itu dapat dilaksanakan,” katanya saat dihubungi Bisnis, Senin (6/9/2021).

Advertisement

Berdasarkan fakta tersebut, potensi untuk melakukan amendemen dan lolos dalam pembahasannya semakin kuat.

Baca Juga: Amien Rais Cerita Inisiator Amendemen UUD 1945, Siapa Dia? 

Akan tetapi, kata dia, untuk mengamendemen tidak hanya sekadar dukungan suara. Dalam UUD 1945 Pasal 37, tambah Feri, perubahan kerangka negara harus dipaparkan pasal yang ingin diubah dan apa alasannya.

Sejauh ini, dia tak pernah mendengar keterangan tersebut dari Ketua MPR Bambang Soesatyo. Berdasarkan penyampaian di media massa, amendemen adalah rekomendasi periode sebelumnya.

Advertisement

Tidak Mencukupi

Oleh karena itu, meski secara suara memenuhi, prasyarat keseluruhan untuk amendemen UUD tidak mencukupi. Ini semakin aneh saat perubahan fokus pada Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

“PPKN sama sekali tidak ada korelasinya dengan kebutuhan bangsa kekinian apalagi di tengah pandemi,” jelas Feri.

Isu Pemilu 2024 akan diundur ke 2027 tegas dibantah DPR RI dan KPU. Meski begitu, isu tersebut semakin bergulir seiring dengan munculnya wacana amendemen UUD 1945 yang diduga merembet pada perpanjangan masa jabatan presiden.

Peneliti Center of Human Rights Law Studies (HRLS) Fakultas Hukum Unair, Herlambang P. Wiratraman mengatakan isu penundaan pemilu merupakan bagian dari skenario kekuasaan oligarki untuk memperpanjang kekuasaan. Adapun prasyaratnya adalah amendemen.

Advertisement

Sudah Dihapus

Untuk penundaan maupun memperpanjang pemilu, jelas Herlambang, strategi yang dipakai adalah membentuk PPHN seperti saat era Orde Baru yang sebenarnya sudah dihapus dalam konstitusi.

“Saya kira penundaan pemilu itu juga bagian dari skenario kekuasaan oligarki,” tegas Herlambang saat berbincang dengan detikcom, Senin (6/9/2021).

“Jadi kalau wacana ini muncul, wacana penundaan pemilu, perpanjangan periode masa jabatan. Prasyaratnya adalah amendemen konstitusi. Karena kalau tidak amendemen konstitusi itu artinya tidak legitimate kepemimpinannya,” jelasnya.

Baca Juga: Isu Amendemen Kian Liar, Ramalan Amien Rais Soal Presiden 3 Periode Terbukti? 

Advertisement

“Upaya yang dilakukan menunda pemilu maupun memperpanjang masa jabatan presiden maka strateginya kan dikemas dalam bentuk membuat PPHN. PPHN atau GBHN namanya kalau dulu itu sudah dihapus, dihilangkan oleh konstitusi kita,” tambah Herlambang.

Herlambang menyebut, alasan penundaan pemilu karena pandemi Covid-19 dinilai bukan problem dasar. Sebab, menurutnya masih ada jalan keluar untuk menyelenggarakan pemilu. Ia kemudian menyinggung pengalaman pemilu elektronik yang pernah ada.

Jalan Keluar

“Kalau urusannya pemilu tidak bisa diselenggarakan karena pandemi, kan ada jalan keluar. Buktinya Jembrana pengalamannya, Korsel sudah ada. Artinya vote itu sudah bisa dilakukan. Apalagi juga bisa diberi mekanisme yang memastikan protokol kesehatan di dalam pemilu,” tuturnya.

“Ini beda dengan situasi awal-awal ya. Waktu itu pilkada dalam situasi meningkatnya penularan. Nah itu sangat membahayakan, apalagi Indonesia saat itu belum punya sistem kesehatan yang sangat baik,” lanjut Herlambang.

“Kalau persoalannya penanganan pandemi belum selesai. Harusnya ditanya balik, kenapa gak selesai-selesai? Sementara negara lain sudah bisa. Kenapa negara kita masih berkutat urusan pandemi. India yang dulu kita saksikan, itu sekarang kondisinya sudah jauh lebih baik,” tegasnya.

Tegas Menolak

Herlambang tegas menolak penundaan pemilu 2024 dengan alasan masih pandemi Covid-19. Karena ia menilai problem dasar bukan karena pandemi namun komitmen politik yang lemah dari pemerintah.

Advertisement

“Itu hanya alasan saja. Urusan Covid kemudian memperpanjang. Gak, saya kira itu bukan alasan yang urgen. Ini apa, orang Indonesia bodoh apa. Bikin teknologi pemilu bisa, bikin teknologi yang lebih canggih bisa. Yang bikin gak bisa itu korupsi. Korupsi besar-besaran itu yang gak bisa,” katanya.

Baca Juga: Solopos Hari Ini: Niat Tersembunyi Amendemen

“Alat harusnya canggih, yang bisa difasilitasi, dikembangkan, kita gak kekurangan ilmuwan tapi kan tidak pernah diupayakan. Jadi, sebenarnya kita punya tantangan, probelemnya itu komitmen politik yang lemah. Bukan problem Covid,” tandas Herlambang.

Sebelumnya, isu pemilu diundurkan ke 2027 meramaikan lini massa Twitter. KPU menegaskan Pemilu 2024 tidak bisa diundurkan ke 2027. Pimpinan DPR berharap masyarakat tidak termakan isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif