News
Rabu, 2 Januari 2013 - 06:46 WIB

Tragedi Pembunuhan Abraham Lincoln (Bagian I): Sang Presiden Sudah Punya Firasat Buruk

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi surat kabar yang menunjukkan gambar rekaan saat John Wilkes Booth menembak Presiden Abraham Lincoln yang tengah menononton pertunjukan di Gedung Teater Ford di Washington, AS, 14 April 1865. (sonofthesouth.net)

Ilustrasi surat kabar yang menunjukkan gambar rekaan saat John Wilkes Booth menembak Presiden Abraham Lincoln yang tengah menononton pertunjukan di Gedung Teater Ford di Washington, AS, 14 April 1865. (sonofthesouth.net)

Abraham Lincoln, Presiden ke-16 AS, sudah selama beberapa malam terus diganggu oleh mimpi buruk yang berulang-ulang. Dalam mimpinya, dia terbangun dari tidurnya di malam hari karena mendengar suara orang menangis. Dia lantas mengikuti arah suara tangisan itu, sampai akhirnya tiba di East Room, salah satu ruang utama di Gedung Putih.
Advertisement

“Saya sangat terkejut,” demikian kisah Lincoln kepada seorang sahabat yang juga pengawal pribadinya, Ward Hill Lamon, suatu hari. “Di ruang itu saya menemukan ada peti jenazah. Saya lalu bertanya pada tentara yang berjaga di situ, siapa penghuni Gedung Putih yang meninggal?” tutur Lincoln. “Presiden meninggal,” ujar Lincoln selanjutnya, menirukan jawaban si tentara dalam mimpi itu. “Presiden dibunuh seseorang,” kata tentara itu pula.

Siapa sangka, mimpi buruk yang berulang-ulang itu adalah firasat buruk yang sesungguhnya. Malam hari 14 April 1865, Lincoln dan istrinya, Mary Todd Lincoln, didampingi seorang teman yang juga perwira militer, Mayor Henry Reed Rathbone dan tunangannya, Clara Harris, datang ke Teater Ford di Ibukota Washington DC untuk menyaksikan pertunjukan. Lakon yang disajikan malam itu adalah Our American Cousin, sebuah drama komedi karya Tom Taylor. Presiden dan rombongannya duduk di tempat khusus yang terletak di balkon dekat panggung.

Pada saat yang lebih kurang sama, di sebuah tempat minum, Star Saloon yang bersebelahan dengan Teater Ford, John Wilkes Booth, seorang aktor yang juga sering tampil sebagai pemeran utama di berbagai teater termasuk di Ford, muncul dan memesan minuman. Pemilik bar, Peter Taltavul, agak heran karena di luar kebiasaannya minum brendi, Booth saat itu memesan wiski. “Ah, tak usah dipikirkan,” celetuk Booth menjawab keheranan Taltavul. “Eh, ngomong-ngomong kamu ada rencana nonton nggak malam ini? Kamu harus nonton, ada adegan yang hebat banget nanti,” katanya. Tanpa menunggu jawaban, Booth melirik jam dinding, lalu pergi.

Advertisement

Malam itu hujan gerimis turun. Booth masuk ke ruang depan teater dan melihat jam lagi, pukul 21.45. Dia mengangguk ke penjaga pintu, John Buckingham, yang dikenalnya, lalu naik tangga ke ruang rias. Karena dia aktor, Booth sudah dikenal orang-orang di sana dan bebas keluar masuk. Samar-samar didengarnya suara dialog di panggung. Dia hapal semua dialog dalam lakon yang tengah dimainkan. Dia juga hapal, nanti ada bagian di mana hanya ada satu aktor di panggung. Itulah saat yang ditunggunya.

Di balkon khusus kepresidenan, Presiden Lincoln yang duduk di kursi goyang tampak sangat menikmati pertunjukan. Di gang di belakang balkon, Booth berjalan hati-hati menuju pintu ke balkon presiden. Gang itu sepi, satu-satunya petugas keamanan presiden tengah berpatroli, meninggalkan tempat itu tak terjaga. Sang pengawal pribadi presiden, Ward Lamon, yang sebelumnya diberitahu soal mimpi buruk Lincoln, justru tak bertugas malam itu karena dia diberi tugas lain oleh Lincoln.

Booth menyelinap masuk. Tangannya merogoh saku jas, meraih sepucuk pistol. Di panggung, aktor Harry Hawk berdiri dan melontarkan kalimat-kalimat dialog yang memancing tawa penonton. Di tengah gemuruh tawa itu, Booth menembakkan pistolnya dari jarak dekat ke bagian belakang kepala Lincoln. Presiden tersungkur. Booth menerjang ke depan, mencoba melompat dari dinding balkon ke panggung. Mayor Rathbone secara refleks mencoba meraih Booth, namun sang aktor menebaskan pisau yang dibawanya dan melukai tangan sang mayor.

Advertisement

Namun perlawanan Rathbone membuat Booth tersandung dan jatuh di panggung yang membuat kakinya keseleo. Seraya bangun, Booth meneriakkan kalimat bahasa Latin, “Sic semper tyrannis! (begitulah nasib tiran).” Dengan terpincang-pincang dia lalu kabur dari pintu belakang gedung teater saat semua orang masih belum sepenuhnya sadar apa yang terjadi. Tapi jeritan Mary Todd Lincoln segera menyadarkan semuanya. “Presiden tertembak!” raungnya dari atas balkon.
Siapakah John Wilkes Booth?

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif