News
Rabu, 29 November 2023 - 15:31 WIB

Terancam Punah Meski Populer, Bahasa Jawa harus Dipakai Lagi Penutur Asli

Maymunah Nasution  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sederet penampilan seni khas Jawa Timur sebagai salah satu pembuka Kongres Bahasa Jawa VII di The Alana Solo, Selasa – Kamis (28-30/11/2023). (Solopos.com/Maymunah Nasution)

Solopos.com, SOLO–Pengajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah seharusnya bukan hanya pengajaran simbolis dan seremonial tanpa mengusung penanaman sikap dan kedisiplinan.

Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Beny Suharsono dalam pembukaan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) VII di The Alana Solo, Selasa (28/11/2023).

Advertisement

Beny mengatakan meskipun bahasa Jawa mulai populer, ada beberapa indikasi terjadi penurunan jumlah penutur.

“Sejak awal abad 21 bahasa Jawa mengalami masa-masa kemunduran, baik dalam populasi penggunaannya oleh masyarakat Jawa sendiri maupun dalam hal wilayah penyebaran yang terus menyusut. Terdapat beberapa tanda bahwa suatu bahasa mengalami pergeseran dan mungkin menuju kepunahan jika pergeseran itu tidak segera dibendung, yang pertama adalah bahasa itu kehilangan basis wilayahnya dan dipakai oleh jumlah penutur yang semakin kecil,” ujar Beny dalam kesempatan tersebut.

Beny meneruskan tanda ancaman kepunahan bahasa Jawa kedua adalah bahasa Jawa semakin terdesak oleh bahasa nasional dan bahkan bahasa asing.

Advertisement

Tantangan ketiga, bahasa Jawa lebih banyak digunakan hanya di pedesaan. Tantangan keempat mutu penggunaan bahasa Jawa oleh para penunturnya semakin menurun sebagaimana terjadi pada bahasa Jawa ketika banyak orang Jawa sudah tidak lagi menggunakan bahasa kromo Tengah sekalipun di dalam kalangan komunitas Jawa sendiri.

Menurut dia, tantangan besar bahasa daerah termasuk bahasa Jawa di Indonesia adalah bagaimana mempertahankan eksistensi bahasa daerah itu agar tidak punah. Saat ini, akibat adanya pengaruh perubahan peta geologi kedudukan bahasa daerah menjadi lemah dan fungsinya pun termarginalisasi.

Dalam persaingan antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia serta bahasa asing, menurut Beny, banyak petunjuk mengisyaratkan bahasa Jawa makin kalah bersaing. Hal ini juga terlihat dari sudut pandang kepentingan nasional di satu sisi kekalahan ini dapat dilihat sebagai suatu mempererat tali persatuan bangsa.

“Namun sisi lain tentu itu merupakan kondisi yang sangat disayangkan. Menurut saya sebab menjadi harapan kita adalah bagaimana bahasa Jawa dapat berdiri sama tinggi dengan bahasa Indonesia,” tambah Beny.

Advertisement

Beny mendesak perlu ada usaha menanggulangi agar bahasa Jawa atau bahasa pun bahasa daerah lainnya tidak punah atau berubah status menjadi bahasa seremonial belaka, misalnya untuk upacara pernikahan saja.

Upaya yang masih dilakukan dalam pembinaan dan pengembangan bahasa daerah adalah usaha-usaha konflik pelestarian bahasa yang benar benar menyentuh perilaku sehari-hari masyarakat.

Dia mencontohkan bahasa Ibrani sebagai bahasa yang sukses berkembang kembali sementara bahasa Irlandia yang gagal dikembangkan. Menurut Beny bahasa Irlandia kalah dengan bahasa Inggris dan kini tidak lagi digunakan oleh orang Irlandia sendiri.

Kemudian dalam kasus bahasa Ibrani, pada akhir abad 19 keadaan bahasa Ibrani dinilai Beny jauh lebih buruk daripada bahasa Jawa saat ini. Namun, karena upaya sekuat tenaga dikerahkan untuk menghidupkan kembali maka bahasa Ibrani dapat berkembang lagi.

Advertisement

Rupanya ada enam upaya yang telah ditempuh bangsa Israel, yang pertama menggunakan bahasa Ibrani di rumah para warga Israel sendiri.

Upaya kedua adalah pembentukan kelompok-kelompok tutur bahasa Ibrani, cara ketiga pembinaan di sekolah-sekolah.

Selanjutnya, penerbitan surat kabar berbahasa Ibrani modern dan kelima penyusunan kamus bahasa Ibrani kuno dan modern serta yang keenam pembentukan dewan bahasa Ibrani.

Dari kedua contoh bahasa tersebut, Beny kembali menekankan pentingnya penggunaan bahasa Jawa dalam aktivitas sehari-hari oleh para penuturnya.

Advertisement

Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Pelaksana Tugas (Plt) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur, Eddy Supriyanto, menyoroti tema KBJ VII berupa Gayeng Gumregut Ngrumat Basa Jawa.

Gayeng gumregut ngrumat basa Jawa berarti secara menyenangkan merawat bahasa Jawa, yang tentunya bisa menyenangkan jika dilakukan bersama tiga daerah; Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Meskipun bahasa Jawa hanya berasal dari tiga tempat ini, tetapi jumlah penuturnya lebih tinggi dibandingkan bahasa Indonesia menurut survei 2010 lalu,” ujar Eddy dalam pidatonya mewakili Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.

Data Sensus Penduduk 2010 sendiri menunjukkan jumlah penutur bahasa Jawa di Indonesia mencapai 68 juta jiwa, 26 juta lebih banyak dibandingkan penutur bahasa Indonesia yang hanya 42 juta jiwa.

Eddy mengatakan kondisi ini menunjukkan bahasa Jawa terus berkembang secara natural di masyarakat dan penggunaannya semakin luas di Indonesia.

Hal tersebut tidak membuat Eddy heran, karena bahasa Jawa merupakan bahasa daerah dengan banyak nilai tersurat dan tersirat. Bahasa Jawa mengajarkan sopan santun dan tata krama secara tersurat dalam hierarki undha usuk, dan secara tersirat mengajarkan setiap orang menyadari posisi diri sendiri.

Hierarki undha usuk adalah tingkat-tingkat yang menunjukkan bahwa bahasa Jawa yang dipakai dalam proses berkomunikasi dapat meningkat nilai moral Semantiknya.

Advertisement

Bahasa Jawa juga memiliki dialek yang membuat perkembangan di masing-masing daerah berbeda. Dialek bahasa Jawa yang ada di Jawa Timur antara lain Mataraman, Madura, Arekan, Osing, Tengger.

Eddy memaparkan dialek Mataraman yang juga berkembang di Solo dan Jogja ada di daerah Pacitan, Trenggalek, Ngawi, Magetan, Madiun, Nganjuk, dan Blitar.

Kemudian di Tulungagung, Kediri, Tuban, Bojonegoro, Jombang, dan Lamongan memiliki dialek Ronggolawe dengan kekhasan bahasa Jawa yang cukup halus tetapi berbeda dengan dialek Mataraman di Solo dan Jogja.

Bahasa Jawa halus juga ditemui di Madura bagian timur Madura yaitu Sumenep. Perkembangan bahasa Jawa halus di sana ditengarai sejak keturunan Pangeran Cakraningrat menetap di Sumenep.

Pangeran Cakraningrat merupakan anak angkat Sultan Agung I yang diangkat menjadi penguasa Pulau Madura saat dikuasai oleh Kerajaan Mataram Islam. Keturunannya kemudian menyeberang ke Sumenep dan sejak saat itu bahasa Jawa halus berkembang di sana.

Melihat perkembangan bahasa Jawa secara turun-temurun, Eddy mengingatkan kembali pentingnya melestarikan dan nguri-uri bahasa Jawa oleh para penutur aslinya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif