News
Sabtu, 17 Oktober 2015 - 19:30 WIB

SWASEMBADA BERAS : JK: Indonesia Butuh Revolusi Hijau Jilid II

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Petani Desa Sidorejo, Wonoasri, Kabupaten Madiun, mengangkut gabah hasil panen dengan kereta sorong, Rabu (7/10/2015). (JIBI/Solopos/Antara/Siswowidodo)

Swasembada beras masih terhambat sejumlah tantangan. Menurut wapres, butuh revolusi hijau jilid II.

Solopos.com, OGAN ILIR — Pemenuhan kebutuhan pangan menghadapi tantangan berat ketika penduduk semakin bertambah di sisi lain areal persawahan semakin berkurang karena pembangunan rumah dan sektor industri.

Advertisement

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) berpendapat kunci pemenuhan kebutuhan pangan terutama beras adalah peningkatan produktivitas dengan melibatkan kemajuan teknologi. Pasalnya penambahan luasan areal persawahan tidak memungkinkan karena harus membakar hutan.

“Jadi harus ada upaya Kementerian Pertanian dan seluruh [pihak] untuk meningkatkan energi ini dari 5 [ton] menjadi 7 [ton], jangan mengharap luasan saja karena tidak mungkin begitu banyak dalam kondisi seperti ini. Perkebunan diluaskan [jadi sawah] akibatnya asap,” kata Wapres dalam peringatan Hari Pangan Sedunia di Ogan Ilir Sumsel, Sabtu (17/10/2015).

Pertumbuhan penduduk Indonesia dalam 10-15 tahun ke depan diperkirakan menjadi 300 juta penduduk yang berarti harus memenuhi kebutuhan pangan orang sebanyak itu. Kuncinya sektor pertanian disentuh teknologi melalui benih unggul, peralatan canggih, irigasi, serta kemampuan petani.

Advertisement

“Karena lahan terus menerus berkurang maka teknologi lah yang mengatasi ini dengan baik. Kita pernah mengalami revolusi hijau 1950-an, Indonesia mungkin butuh peningkatan revolusi hijau yang kedua biar produktivitas naik, itu sekali lagi teknologi dan peralatan,” ujar Wapres.

Dalam rangka Hari Pangan Sedunia 2015, diharapkan kestabilan harga pangan terjaga dengan baik agar semua pihak baik petani dan konsumen tidak dirugikan. Oleh karena itu Wapres JK meminta untuk menghilangkan pemikiran produksi dengan harga yang lebih tinggi tetapi untuk pangan yang harganya stabil.

“Kita harus hilangkan pikiran memproduksi dengan harga yang lebih tinggi. Harga yang stabil bukan harga yang tinggi,” tuturnya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif