News
Jumat, 16 Juni 2023 - 07:28 WIB

Solopos Hari Ini : Sistem Pemilu Tak Berubah

R. Bambang Aris Sasangka  /  Kurniawan  /  Priyono  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Koran Solopos edisi Jumat (16/6/2023).

Solopos.com, JAKARTA–Harian Umum Solopos hari ini, Jumat (16/6/2023), mengusung headline soal Majelis hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan para pemohon pada sidang perkara gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Diberitakan Solopos hari ini, dengan penolakan ini sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku. “Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (15/6/2023).

Advertisement

Para pemohon itu dalam gugatannya terhadap UU Pemilu antara lain menyebut sistem proporsional terbuka melemahkan partai politik. Namun MK menilai bahwa partai politik tidak serta-merta dilemahkan dengan penerapan sistem proporsional daftar calon terbuka, terbukti dari peran sentral partai dalam menentukan bakal calon anggota legislatif untuk pemilihan umum (pemilu).

Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang pembacaan putusan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 terkait sistem pemilu legislatif menyebut sejarah menunjukkan nomor urut calon anggota legislatif (caleg) sangat krusial dalam menentukan kemenangan.

Advertisement

Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang pembacaan putusan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 terkait sistem pemilu legislatif menyebut sejarah menunjukkan nomor urut calon anggota legislatif (caleg) sangat krusial dalam menentukan kemenangan.

Saldi memaparkan bahwa apabila dibaca secara saksama, hasil pemilihan umum anggota DPR tahun 2009, 2014, dan 2019, sekali pun menggunakan sistem pemilihan umum proporsional dengan daftar terbuka, secara empirik calon terpilih tetap merupakan calon yang berada pada nomor urut 1 dan nomor urut 2. “Yang dapat dimaknai sebagai ‘nomor urut calon jadi’ yang diajukan partai politik,” ucap Saldi.

Sementara terkait dalil pemohon bahwa sistem proporsional terbuka menyuburkan praktik politik uang ditanggapi MK dengan mengatakan partai politik yang terbukti membiarkan berkembangnya praktik politik uang dapat dijadikan alasan oleh pemerintah untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik yang bersangkutan sebagai efek jera.

Advertisement

Gibran: Masuk Balekambang Tetap Gratis

SOLO–Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menyatakan kemungkinan tarif masuk Taman Balekambang Solo tetap gratis. Akan tetapi pengunjung yang menonton atraksi harus membayar.

Hal itu disampaikan Gibran merespons pernyataan sejumlah akademisi dan Fraksi PKS (FPKS) DPRD Solo yang tidak setuju dengan wacana pemberlakuan tarif masuk ke kawasan Taman Balekambang Solo setelah proses revitalisasi rampung kelak.

Advertisement

“Rencana mungkin tetap gratis tapi mungkin kalau masuk ke Kethoprak Balekambang Solo dan lain-lain bayar. Ditunggu dulu ya kan durung dadi [pekerjaan revitalisasi belum selesai]. Dan kami mau cari operator yang profesional,” kata Gibran saat ditemui di Balai Kota Solo, Kamis (15/8/2023).

Gibran menjelaskan telah memerintahkan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Solo, Aryo Widyandoko mencari operator Taman Balekambang Solo.

Gibran belum tahu siapa operatornya apakah pihak ketiga dari dalam negeri atau luar negeri. Gibran mengatakan ada beban operasional untuk pengelolaan Taman Balekambang Solo. Apabila nanti semua di kawasan Taman Balekambang gratis, operator tidak bisa melakukan perawatan Taman Balekambang Solo.

Advertisement

Selengkapnya simak di Harian Umum Solopos edisi hari ini, Jumat (16/6/2023).

Pemerintahan Bawah Tanah Pertahankan Wibawa Republik

Mungkin tidak banyak orang tahu bahwa Pemerintah Kota Solo pernah menjadi “pemerintah bawah tanah” alias harus bergerak secara rahasia di masa pendudukan militer Belanda. Ini pun menjadi upaya untuk mempertahankan wibawa Republik Indonesia yang sedang mengalami agresi militer Belanda.

Kondisi itu terjadi pada 1949. Saat itu Wali Kota Solo, Sjamsuridzal, ditangkap Belanda pada 13 Januari 1949. Koran Keng Po edisi 1 Februari 1949 memberitakan penangkapan  Sjamsuridzal terjadi di Kepatihan. Dia ditangkap bersama Sekretaris Wali Kota, Suprapto.

Guna menyiasati kekosongan pemerintahan sipil RI di Solo, Residen Soediro pun mendapat jabatan rangkap yaitu sebagai Residen Surakarta dan Wali Kota Solo. Akan tetapi saat itu posisi Sudiro ada di luar kota.

Dengan persetujuan Komandan Sub-Wehrkreise (SWK) 106 Arjuna, Mayor Achmadi, dikeluarkanlah Surat Keputusan Residen Surakarta No. 3a/Dar/1949 tanggal 26 Januari 1949 yang mengangkat Soedjatmo Soemoewerdojo sebagai fungerend atau pelaksana tugas Wali Kota Solo. Soedjatmo adalah seorang mahasiswa di Perguruan Tinggi Kedokteran Surakarta yang ikut berjuang.

Setelah surat pengangkatan dikeluarkan oleh Residen Sudiro, maka Soedjatmo dan rekannya bernama Achmad Sarbini dan satu rekan lagi yang saat itu ada di Jogja harus segera ke Solo sebagai tempat penugasan. Dalam kondisi serba terbatas, mereka ke Solo dengan berjalan kaki. Itu pun tidak melewati jalan besar karena berisiko ditangkap Belanda. Untuk itu mereka melalui rute perdesaan dan pegunungan hingga akhirnya tiba di Solo.

Selengkapnya simak di Harian Umum Solopos edisi hari ini, Jumat (16/6/2023).

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif