News
Senin, 19 September 2016 - 12:00 WIB

SIDANG KOPI BERSIANIDA : Saksi Ahli: Kelaziman Tidak Bisa Dipakai untuk Ukur Gesture Jessica

Redaksi Solopos.com  /  Haryo Prabancono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Reaksi Jessica Kumala Wongso dan Otto Hasibuan mendengar pernyataan Kombes Pol. Nursamran. (Youtube.com)

Sidang kopi bersianida kali ini menghadirkan ahli psikologi, Dewi Taviana.

Solopos.com, JAKARTA — Sidang kopi bersianida dalam kasus pembunuhan Mirna ke-22  dengan terdakwa tunggal Jessica Kumala Wongso menghadirkan saksi ahli psikologi Universitas Indonesia, Dewi Taviana, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (19/9/2016).

Advertisement

Sidang berawal dari saksi ahli yang menjelaskan pengertian ilmu psikologi dan ruang lingkup psikologi. Untuk mengetahui gestur tubuh dan gerik seseorang yang tidak lazim seperti Jessica harus melakukan observasi ilmiah.

Observasi ilmiah dilakukan dengan satu objek dan harus dilakukan beberapa beberapa orang.  Observasi ilmiah dilakukan sistematis, terukur dan terencana serta harus ada tujuan.

Pengacara Jessica, Otto Hasibuan, lalu bertanya mengenai kelaziman menaruh paper bag di meja dan gerak-gerik Jessica di kafe Olivier.  Menurut saksi ahli, kelaziman tidak bisa dipakai untuk mengukur gesture dan gerak-gerik seseorang termasuk Jessica.  Kelaziman tergantung dari kebiasaan Jessica.

Advertisement

Menurut Taviana, bila mengacu pada kelaziman umum maka harus ada survei khusus yang membahas kebiasaan menaruh paper bag di meja atau kursi. Survei tersebut tentunya dilengkapi dengan data statistik.

Dewi Taviana menjelaskan ada tiga parameter yang digunakan psikolog untuk mengukur kelaziman seseorang. “Pertama perilaku seseorang kita bandingkan dengan perilakunya dengan konteks yang berbeda dan situasi yang berbeda juga,” ujar Taviana.

Parameter kedua yakni parameter statistika penomoran. Taviana menyebut ada beberapa restoran di Indonesia yang justru closed bill atau harus membayar lebih dulu. “Parameter ketiga adalah norma. Misalnya menentukan cerdas, sangat cerdas, itu adalah norma psikologi,” ucap Taviana.

Advertisement

Selanjutnya Otto bertanya gesture, body language, gerak gerik Jessica melalui CCTV. Menurut Dewi, CCTV tidak cukup menjadi bahan penilaian gesture dan gerak gerik seseorang. Tempat untuk memeriksa psikologi seseorang termasuk Jessica harus di tempat netral. Bila di kantor polisi hasilnya bias, tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Hasil pemeriksaan psikologi bersifat rahasia tidak untuk umum dan laporannya harus diberikan kepada Bareskrim. Hal itu karena psikolog juga memiliki standar kode etik. Tujuan dan hasil kesimpulan tes psikologi Jessica tidak sesuai. Ada kontradiksi dari hasil dan tes psikologi.

Persepsi mengenai psikologi seseorang bisa dipengaruhi banyak hal. Persepsi setiap orang berbeda-beda.  Saksi ahli mencontohkan beberapa gambar visual seperti orang menari dan payung kuning di tengah-tengah payung hitam. Ahli psikologi harus netral dan tidak bisa dipengaruhi oleh beberapa pihak.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mempertanyakan metode pemeriksaan ahli karena tidak pernah bertemu Jessica.  JPU keberatan karena saksi ahli hanya menganalisis hasil laporan psikologi Jessica padahal belum pernah bertemu.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif