News
Minggu, 21 Oktober 2012 - 14:06 WIB

SERTIFIKASI KAYU: Permudah Ekspor, Pengusaha Minta Pemerintah Sinergikan Model

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi mebel (JIBI/SOLOPOS/Dok)

Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/Dwi Prasetya)

JAKARTA – Pengusaha sektor kehutanan meminta pemerintah menyinergikan sejumlah model sertifikasi lacak balak kayu baik melalui skema mandatory maupun voluntary.
Advertisement

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Irsyal Yasman mengungkapkan sinergi sertifikasi itu akan membantu pelaku industri mengoptimalkan biaya ganda yang perlu dikeluarkan guna menjamin akselerasi produk kayu Indonesia ke pasar tujuan ekspor. Pasalnya, hingga kini beberapa pengusaha masih khawatir sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) sebagai skema mandatory tidak cukup untuk menjaring preferensi pasar. Untuk itu, kelengkapan sertifikasi voluntary dianggap krusial dalam menjamin terbukanya pintu ekspor.

Namun, tidak sedikit perusahaan memiliki kapasitas pembiayaan untuk mengakses kedua skema sertifikasi sekaligus. Hingga kini, tidak banyak perusahaan terlibat dalam proses pemenuhan sertifikasi voluntary karena cenderung berbiaya tinggi. Setiap unit managemen rata-rata perlu mengeluarkan dana hingga US$ 500 ribu untuk menjalani proses inspeksi dengan skema voluntary. Hal itu membuat industri mebel dan pengolahan kayu skala kecil menengah yang sangat mengandalkan pasar ekspor sangat terbebani karena tidak punya cukup dana.

“Kalau ada upaya disinergikan SVLK dan voluntary, pasar akan terbuka terutama di Eropa dan Amerika Serikat yang membatasi impor produk berbahan baku kayu yang tidak jelas asal usulnya,” ungkap Irsyal saat dihubungi hari ini (21/10/2012), di Jakarta. Head of Economic and Regional Cooperation European Unian Delegation Andreas Roettger mengatakan kekhawatiran itu dapat ditekan apabila Indonesia dan Uni Eropa telah berhasil mencapai kesepakatan untuk memberantas perdagangan kayu ilegal dalam Voluntary Partnership Agreement (VPA).

Advertisement

Dengan begitu, ucap Roettger, akses pasar ke Uni Eropa akan terjamin karena semua produk kayu bersertifikat asal Indonesia secara otomatis dianggap legal, tidak perlu menjalani proses verifikasi tambahan. Meski begitu, Roettger menegaskan Indonesia sebagai salah satu eksportir besar produk kayu ke Eropa harus segera melakukan percepatan penerapan skema mandatory seperti pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) dan SVLK untuk memberi jaminan produk Indonesia bisa dilacak dari hutan hingga pelabuhan ekspor. “Untuk itu, setiap importir kayu di Uni Eropa nantinya wajib melakukan due diligence guna menjamin legalitas kayu-kayu yang masuk ke pasar tunggal,” jelasnya.

Ketua Dewan Eksekutif The Borneo Initiative (TBI) Jesse Kuijper menegaskan banyak negara produsen kayu di dunia mengembangkan skema mandatory seperti SVLK. Meski demikian, menurutnya, masih banyak pembeli yang lebih memilih untuk produk kayu yang bersertifikat voluntary. Hal senada diakui oleh Dian Novaria, Head of Sustainability PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Menurut Dian, kelengkapan sertifikasi mandatory dari sistem verifikasi Legalitas kayu (SVLK) belum sepenuhnya menjamin produk kayu Indonesia dapat kompetitif di sejumlah negara tujuan ekspor.

Pasalnya, kata Dian, beberapa negara menganjurkan legalitas sumber bahan baku dan pengelolaan hutan lestari dibuktikan dalam beberapa dokumen dan sertifikat. Untuk itu, RAPP telah mengantongi sertifikat-sertifikat standar produk seperti chain of custody dan controlled wood dari forest stewardship council (FSC), ecolabel, hingga ISO environmental system. “Konsumen luar negeri sangat menuntut banyak model verifikasi penebangan dan pengangkutan yang sesuai prosedur tata usaha kayu,” katanya.

Advertisement

Hingga kini, RAPP telah mengantongi berbagai sertifikat voluntary seperti FSC chain of custody dan controlled wood sejak Desember 2008. Penanganan sertifikasi dikelola langsung dalam sebuah departemen khusus yakni Integrated Management System. Namun, perusahaan kerap kesulitan mempertahankan bukti legalitas karena sejumlah konflik sosial. “Harus diakui, upaya mempertahankan sertifikat itu sama atau bahkan lebih sulit ketimbang memperolehnya,” keluh Dian.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif