Kolom
Selasa, 16 April 2024 - 12:55 WIB

Lebaran

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - R. Bambang Aris Sasangka (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Salah satu definisi ”Lebaran” adalah momentum seusai Ramadan, dari bahasa Jawa ”lebar” yang artinya seusai. Yang bisa dipertanyakan adalah ”setelah itu lantas apa?” ”Bar kuwi ngapa?” ”What’s next?” ”Then what?” Dan sebagainya.

Dari kacamata religi, selepas Ramadan, yang diharapkan tentu adalah umat yang melaksanakan ibadah puasa Ramadan menjadi umat yang lebih baik kualitas spiritualnya setelah gemblengan Ramadan sebulan penuh, bulan yang banyak disebut sebagai bulan ”madrasah” atau sekolah.

Advertisement

Pada ”bulan sekolah” itu umat Islam yang menjalani puasa mengatur diri lebih berfokus pada pelaksanaan aneka ibadah. Al-Qur’an yang mungkin lama tidak disentuh atau hanya disentuh sebentar menjadi lebih intensif ditekuni.

Masjid yang mungkin lama tak disambangi menjadi lebih sering disinggahi, bahkan menjadi tempat berlama-lama beribadah. Ilmu-ilmu agama yang mungkin terpinggirkan menjadi disimak kembali.

Advertisement

Masjid yang mungkin lama tak disambangi menjadi lebih sering disinggahi, bahkan menjadi tempat berlama-lama beribadah. Ilmu-ilmu agama yang mungkin terpinggirkan menjadi disimak kembali.

Semestinya itu membawa kesadaran baru mengenai hakikat keimanan. Membawa kesadaran baru mengenai batas iman dan keingkaran. Puasa Ramadan dan segala amal ibadah yang menyertai semestinya mempertebal batas antara keimanan dengan keingkaran sehingga pelakunya lebih mantap melangkah dalam kehidupan sehari-hari.

Dia lebih mantap karena lebih yakin dengan batas-batas yang sudah dikalibrasi ulang pada Ramadan. Baik-buruk, mulia-hina, dan sebagainya menjadi semakin terang benderang bedanya.

Advertisement

Apalagi ketika semua ibadah Ramadan yang secara nilai utama merupakan ibadah individual yang dinilai langsung oleh Allah SWT itu kemudian dilengkapi dan disempurnakan dengan zakat fitrah.

Zakat fitrah adalah wujud ibadah individual hubungan dengan Allah SWT atau hablum minallah diimbangi hubungan dengan/antarmanusia atau hablum minannas. Kita tidak hanya ”berasyik masyuk” beribadah kepada Allah SWT, tapi Allah SWT juga mengingatkan bahwa ada ibadah lain yang tak kalah penting, yaitu menjaga dan membina hubungan dengan sesama manusia, sesama makhluk-Nya.

Imam al-Ghazali menjelaskan dialog Allah SWT dengan Nabi Musa. Suatu ketika Nabi Musa bertanya kepada Allah SWT soal ibadah apakah yang paling Dia sukai, apakah salat yang dilakukan Nabi Musa, puasa, dan sebagainya.

Advertisement

Allah menjawab bahwa salat lebih bersifat mencegah diri dari berbuat keji dan mungkar, sementara puasa lebih bertujuan melatih diri agar mampu mengekang hawa nafsu. Allah lantas berpesan kepada Nabi Musa bahwa ibadah yang lebih Dia sukai adalah memasukkan rasa bahagia ke dalam hati seseorang, khususnya orang yang sedang sangat sedih.

Syeikh Isa al Mi’sharawi berpesan agar umat Islam tidak hanya mencari Lailatulqadar atau malam penuh kemuliaan pada Ramadan dalam ibadah-ibadah yang makin intensif di masjid-masjid.

Dia berpesan agar malam penuh kemuliaan itu dicari alias diupayakan dengan memberi makan fakir miskin yang kelaparan, membahagiakan anak yatim piatu, dan membantu orang-orang yang sedang sakit.

Advertisement

Semua hal itu menurut Syeikh Isa al Mi’sharawi adalah ikhtiar mendapat keridaan Allah SWT.  K.H. Miftachul Achyar seperti dikutip dari situs nu.or.id menyebut ibadah puasa sekaligus menjadi wujud kesediaan manusia untuk melakukan koreksi, introspeksi, kritik, dan memupuk semangat perbaikan.

Semua ini tak hanya tercermin dalam diri individu yang melakukan, namun juga lebih luas ke kehidupan sosial dan kepentingan publik. K.H. Miftachul Achyar juga menyatakan dimensi sosial ibadah puasa akan melahirkan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga-lembaga sosial keagamaan, dan lembaga-lembaga negara yang tetap selalu menghidupkan semangat social introspection, social critics, social auditing, dan social control.

Kesalehan pribadi yang terbangun dari ibadah-ibadah pembangun spiritual sangat terkait erat dengan kesalehan sosial kemasyarakatan. Umat Islam harus terus-menerus bertanya kepada diri sendiri, setelah Idulfitri, setelah Lebaran, apa yang berhasil dibangun dalam diri?

Apakah sudah menjadi orang yang makin kuat imannya? Apakah menjadi orang yang makin baik kesadarannya sebagai hamba Allah SWT? Yang  tak kalah penting, apakah setelah Lebaran betul-betul menjadi insan yang makin peduli terhadap sesama?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 April 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif