Kolom
Kamis, 18 April 2024 - 12:55 WIB

Kepanduan Membangun Karakter

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - M. Abdur Rohman (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Beberapa waktu terakhir mengemuka perbincangan, diskusi, bahkan perdebatan tentang Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologo Nomor 12 Tahun 2024, terutama BAB V Pasal 34, yang menyatakan keikutsertaan siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler Gerakan Pramuka atau ekstrakurikuler lainnya bersifat sukarela.

Aturan baru ini sekaligus mencabut dan menyatakan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 63 Tahun 2014 tentang ekstrakurikuler wajib di pendidikan dasar dan pendidikan menengah tidak berlaku lagi.

Advertisement

Anggaran Dasar Gerakan Pramuka Bab III Pasal 6 menyatakan Gerakan Pramuka bersifat terbuka, bersifat universal, bersifat mandiri, bersifat sukarela, bersifat patuh dan taat terhadap konstitusi, dan bersifat nonpolitik.

Inilah yang menjadi dasar ekstrakurikuler Gerakan Pramuka bagi peserta didik di sekolah dasar dan sekolah menengah tidak lagi bersifat wajib. Aktivitas organisasi kepanduan bermula ketika Lord Robert Baden Powell mengadakan perkemahan bersama 22 anak laki-laki pada 25 Juli 1907 di Pulau Brownsea, Inggris.

Perkemahan yang dilaksanakan selama delapan hari itu bertujuan melatih anak-anak muda agar memiliki fisik yang tangguh dan memiliki keahlian untuk menaklukkan keganasan Samudra Atlantik pada saat itu. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya organisasi kepanduan di dunia.

Advertisement

Di Indonesia, gerakan kepanduan lahir pada saat masih dalam penjajahan Belanda. Perintisnya adalah pendirian Nationale Padvinderij Organisatie (NPO) pada 1912 di Bandung oleh J.H.R. Van der Bosch. Pada 1916, NPO berubah nama menjadi Nederland Indische Padvinders Vereeniging atau NIVP.

Pada tahun yang sama, K.G.P.A.A. Mangkunagoro VII mendirikan gerakan kepanduan bernama Javaanche Padvinders Organisatie (JPO) di Kota Solo. Dua tahun berselang, tepatnya pada 1918, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah, mendirikan organisasi kepanduan bernama Padvinder Muhammadiyah (Hizbul Wathan).

Saat itu Muhammad Darwisy atau yang dikenal sebagai Ahmad Dahlan terinspirasi ketika melihat anggota JPO berlatih baris-berbaris di halaman Pura Mangkunegaran. Ia melihat itu seusai mengisi kajian organisasi Sidiq, Amanah, Tabligh, dan Vatonah (SATV) di Kota Solo.

Seiring berjalannya waktu, organisasi kepanduan semakin tumbuh di berbagai organisasi semasa penjajahan Belanda. Salah satunya dengan pendirian Jong Java Padvinderij pada 1923. Banyak tokoh kepanduan yang kemudian menjadi pribadi yang memiliki nasionalisme tinggi, salah satunya Kasman Singodimejo.

Advertisement

Ia hasil didikan kepanduan Padvinder Muhammadiyah yang kemudian melanjutkan studi di Eropa. Organisasi kepanduan melahirkan banyak tokoh hebat, salah seorang di antara mereka adalah Jenderal Besar Soedirman. Sejak kecil Soedirman dididik di organisasi kepanduan Muhammadiyah, yaitu Hizbul Wathan.

Buku Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir terbitan Tempo (2012) mengisahkan Soedirman pernah mengikuti perkemahan kepanduan di kaki Gunung Slamet, Banyumas, Jawa Tengah. Pada saat itu terjadi hujan deras.

Semua peserta perkemahan diungsikan ke rumah-rumah warga. Soedirman tetap berada di tempat kemah dan tidak mau ikut mengungsi ke rumah warga.  Pada tahun 1928—1935, gerakan kepanduan Indonesia semakin marak. Muncul berbagai organisasi kepanduan baru, antara lain, Pandu Indonesia, Padvinders Organisatie Pasundan, Pandu Kesultanan, Sinar Pandu Kita, dan Kepanduan Rakyat Indonesia.

Gerakan-gerakan kepanduan ini berkembang sampai pada masa pendudukan Jepang. Saat Jepang menjajah Indonesia memunculkan cerita baru bagi organisasi kepanduan. Seluruh organisasi kepemudaan, termasuk organisasi kepanduan, dilebur menjadi Keibodan dan Seinandan.

Advertisement

Organisasi ini berada di bawah kendali tentara Jepang sampai pada saat Jepang kalah dalam Perang Dunia II. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, organisasi kepanduan bangkit kembali, bahkan terus tumbuh hingga lebih dari 100 organisasi kepanduan.

Pada tahun 1961, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 448, Presiden Soekarno melebur semua organiasi kepanduan dan memberi wadah bernama Praja Muda Karana (Pramuka). Itu terjadi pada 14 Agustus 1961.

Sayangnya, pada saat itu dan masa sesudahnya Pramuka dijadikan alat politik oleh pemerintah. Hal ini yang membuat Pramuka sempat mengalami perpecahan. Dari perpecahan tersebut berdirilah organisasi yang lebih memilih bergiat di bidang kepencinta-alaman dan ada yang memilih bergiat  pada unsur baris-berbaris.

Gerakan atau organisasi yang condong ke aktivitas alam berhimpun dalam Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri pada 16 Mei 1964. Enam bulan berselang, tepatnya pada 12 Desember 1964, berdiri Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia atau Mapala UI sebagai salah satu wujud ketidakpuasan terhadap Pramuka.

Advertisement

Mereka yang lebih menyukai aktivitas baris-berbaris mendirikan Resimen Mahasiswa pada 13 Juni 1964. Setelah kejadian tersebut Pramuka banyak berbenah, seperti menjadikan Pramuka sebagai organisasi nonpolitis. Ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa Gerakan Pramuka bersifat mandiri, sukarela, dan nonpolitis.

Urgensi Pramuka

Pengalaman saya di kegiatan kepanduan menunjukkan sampai saat ini kegiatan kepanduan adalah aktivitas yang berbasis kesukarelaan. Artinya tidak ada paksaan untuk ikut, tidak ada gaji pokok, tidak mendapatkan fasilitas dari organisasi,  bahkan sering kali dengan sukarela mengeluarkan uang dan alat pribadi untuk keperluan organisasi.

Mengapa demikian? Karena saya berada pada posisi anggota dewasa, kepengurusan, dan sekaligus pembina, bukan sebagai peserta didik. Saya aktif di Gerakan Pramuka sejak sekolah dasar hingga saat ini  dalam posisi sebagai guru atau pendidik.

Saat di sekolah dasar saya aktif berkegiatan di Gerakan Pramuka sebagai kegiatan wajib di sekolah. Setelah lulus dari sekolah menengah atas, secara sukarela saya aktif di Gerakan Pramuka di perguruan tinggi sampai menjadi pelatih.

Artinya kata sukarela bukan diartikan sebagai aktivitas yang boleh dipilih, setidaknya di kalangan peserta didik, tetapi itu untuk anggota dewasa. Apabila Gerakan Pramuka disamakan dengan kegiatan ekstrakurikuler lainnya secara umum, jelas mengemuka perbedaan dalam tujuan.

Ketika siswa mengikuti keguatan ekstrakurikuler olahraga, yang ingin dia capai ialah antara meraih prestasi atau mencari kebugaran. Ketika siswa mengikuti keguatan ekstrakurikuler ollimpiade matematika, sains, dan bahasa inggris,  hal yang ingin diraih ialah prestasi.

Advertisement

Jelas berbeda dengan Gerakan Pramuka yang tujuannya adalah membangun karakter. Gerakan Pramuka adalah wahana pendidikan karakter. Jelas bahwa keberadaan Gerakan Pramuka bertujuan membentuk setiap pramuka memiliki kepribadian yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin.

Gerakan Pramuka mendidik para siswa agar menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa dan memiliki kecakapan hidup sebagai kader bangsa dalam menjaga dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengamalkan Pancasila, serta melestarikan lingkungan.

Menurut hemat saya, sebagai organisasi kepanduan yang berkegiatan untuk membangun karakter generasi penerus bangsa, Gerakan Pramuka atau organisasi kepanduan yang setara tetap wajib diikuti oleh peserta didik di sekolah dasar hingga sekolah menengah.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 17 April 2024. Penulis adalah aktivis kepanduan dan guru SDIT Muhammadiyah Al-Kautsar, Gumpang, Kartasura, Sukoharjo)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif