Kolom
Sabtu, 20 April 2024 - 12:55 WIB

Sublim Kemasan Ramah Alam

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sumarno (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Lebaran  ketupat di banyak daerah baru saja berlalu. Ketupat menjadi sajian khas saat Lebaran. Menurut sejarawan H.J. de Graaf, ketupat atau kupat sebagai kemasan makanan kali pertama dikenalkan pada abad XV di Kerajaan Demak.

Kupat pada dasarnya telah dikenal pada masa Hindu Jawa, untuk persembahan kepada Dewi Sri yang digantung di pintu. Pada masa Kerajaan Demak, Sunan Kalijaga mengalihwahanakan ketupat menjadi kemasan makanan pengganti nasi.

Advertisement

Kupat adalah selongsong terbuat dari daun kelapa muda atau janur, diisi beras, kemudian dimasak. Janur sebagai bahan kupat selaras dengan Kerajaan Demak yang berada di wilayah pesisir. Janur sebagai bahan baku melimpah di wilayah pantai.

Bahan lain selongsong ketupat adalah daun palem, daun aren, daun pandan, daun kelapa sawit, daun lontar, dan daun kapau. Rasionalisasi penggunaan janur adalah pada ukuran yang panjang, tidak kaku, minim buluh, warna kuning indah sehingga layak sebagai kemasan makanan.

Demak sebagai kerajaan maritim berinteraksi intensif antarpulau. Tidak berlebihan kupat menyebar ke seantero Nusantara: kupat (Jawa), ketupat (Melayu), topat (Lombok), katufa’ (Bugis). Terdapat kesamaan istilah dengan sedikit perbedaan pelafalan di beberapa daerah yang menunjukkan keintiman antardaerah.

Advertisement

Kupat adalah akronim dari ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan laku papat (empat laku). Pengertian kupat mencakup dimensi filosofi, praksis, dan teknis. Dimensi filosofis kupat adalah medium menuju kebijaksanaan setelah menjalani puasa sebulan penuh.

Kerendahan hati dengan mengakui kesalahan (ngaku lepat) adalah cara mencapai pribadi-pribadi yang fitri. Ngaku lepat upaya pemurnian pribadi, antarpribadi, sebagai makhluk sosial. Bukan berebut benar, tetapi saling mengakui kesalahan.

Ini untuk membuka peluang, mencapai titik temu, saling memaafkan. Peluang rekonsiliasi terbuka. Ngaku lepat dari dimensi praksis mencakup empat laku luberan (melimpahi), leburan (melebur dosa), lebaran (pintu ampunan terbuka lebar), dan laburan (menyucikan diri).

Empat langkah dimensi teknis pembuatan kupat meliputi nyiseti, nglakari, ngenam, dan nduduti. Nyiseti adalah memisahkan bilah janur dengan lidi. Ada yang menguapi agar janur tidak cepat kerut dan kering. Nglakari adalah membalutkan bilah janur pada kedua tangan untuk membuat kerangka.

Advertisement

Nglakari menjadi proses awal paling penting sebagai struktur dasar bentuk kupat. Bentuk-bentuk dasar kupat adalah genjang (rhombus), jajaran genjang (parallelogram), bujur sangkar (square), segitiga (triangle), dan belah ketupat (diamond).

Eksistensi ketupat tampak dari istilah asing diamond yang diartikan belah ketupat. Penamaan ketupat adalah kupat sinto, kupat bawang, kupat luar, kupat kodok, kupat sompil, kupat kepel.

Proses ngenam, yakni mengaitkan dua bilah janur dengan menumpang dan menindih. Pola anyam adalah pola tumpang satu dan tindih satu. Teknik anyam ketupat dimungkinkan sebagai teknik anyam paling kompleks.

Kerumitan anyam ketupat adalah pada jalinan antarbilah janur dengan bidang yang sempit dengan orientasi hasil bentuk tiga dimensi. Kerumitan anyam untuk menghasilkan selongsong utama adalah untuk pembelajar atau pemula.

Advertisement

Setiap langkah tumpang satu dan tindih satu bilah janur harus terproyeksi menghasilkan pola dan bentuk tertentu sesuai jenis kupat. Nduduti menghasilkan selongsong kupat. Nduduti adalah menarik-narik ujung dan pangkal maupun bagian lain bilah janur. Tujuannya merapikan dan merapatkan anyaman bilah janur.

Pewarisan Keterampilan.

Mayoritas masyarakat tradisional Jawa memiliki kemampuan motorik membuat kupat. Keterampilan semesta anyam janur menjadi kupat khususnya adalah untuk kaum laki-laki. Dahulu berkembang mitos laki-laki yang tidak mampu membuat kupat kelak jika mati diganjar makan buah kunta bima (Kigelia africana).

Konon buah ini rasanya sangat pahit, beracun, dan membuat bibir melepuh (Danandjaja, 2002).  Mitos makan kunta bima bagi yang tidak mampu membuat kupat memiliki fungsi memotivasi belajar untuk menjaga keberlanjutan kemampuan membuat kupat.

Advertisement

Plastik kini menjadi kemasan berbagai produk, menggeser bahan kemasan alami terbarukan seperti daun, pandan, janur, bambu, dan sebagainya. Kemasan plastik masuk ke semua sektor, tidak terkecuali pada cetakan kupat.

Plastik adalah material sulit diurai mikroorganisme dan berdampak negatif bagi lingkungan, tanah, air, laut, bahkan udara. Krisis lingkungan yang semakin menjadi-jadi mendorong umat manusia di seluruh penjuru dunia mengembangkan perilaku ramah lingkungan.

Perilaku ramah lingkungan di beberapa negara telah menjadi gaya hidup. Ecolabelling adalah bukti tuntutan di beberapa negara pada berbagai produk sebagai hak bagi konsumen.

Kupat bersama pincuk, suji, takir, sumpul adalah kemasan makanan berbahan daun yang terbarukan. Kupat sebagai kemasan makanan yang estetis dan ramah lingkungan berpeluang dikembangkan agar naik kelas untuk pasar yang lebih luas.

Kupat selama ini hanya dijajakan di pinggir jalan atau pasar tradisional. Kupat selayaknya nampang di toko-toko, swalayan, mal, maupun pusat perbelanjaan. Kupat memungkinkan jadi komoditas industri melampaui negeri sendiri.

Kupat sebagai hasil karya adiluhung para pendahulu tentu terbuka untuk terus dikembangkan. Peradaban hakikatnya buah pertumbuhan budaya. Pengembangan dapat menyangkut aspek desain maupun fungsi sebagai produk olahan.

Advertisement

Pohon kelapa sebagai penghasil janur di berbagai daerah kini makin langka. Ancaman terbesar pada budi daya tanaman kelapa adalah hama serangga dan penyakit. Pemanfaatan janur untuk pembuatan kupat melalui pemetikan secara periodik sekaligus menjadi model perawatan dan pemantauan serangga perusak tanaman.

Janur adalah bahan baku terbarukan dan berkelanjutan. Pemetikan yang bijak memungkinkan tumbuh kembali, dari generasi ke generasi. Perilaku manusia dan manfaat menjadi kunci bagi keberlanjutan lingkungan. Diskusi, kajian, seminar, artikel, dan berita umumnya membahas aspek lingkungan alam.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 menyatakan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Lingkungan sosial-budaya acapkali bersifat intangible, sulit diukur secara konkret. Paradigma lama menyatakan perilaku manusia dipengaruhi lingkungannya. Sebenarnya budaya dan perilaku manusialah yang menjadi kunci bagi kelestarian dan keberlanjutan lingkungan.

Lingkungan lestari, berkelanjutan, mengancam, atau mendatangkan bencana ditentukan oleh manusia. Harmonisasi lingkungan sosial, alam, dan ekonomi adalah prasyarat bagi keberlanjutan lingkungan. Kupat tidak mendatangkan nilai ekonomi tinggi sehingga wajar budi daya pohon kelapa tidak bertambah.

Subtitusi plastik menggantikan janur untuk pembuatan kupat menggeser keterampilan endogen masyarakat. Bergeser ke masyarakat konsumtif dan penonton bagi budaya sendiri yang diperankan orang lain.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 18 April 2024. Penulis adalah Ketua Program Studi Desain Produk Industri Institut Seni Indonesia Solo)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif