News
Jumat, 7 Juli 2023 - 08:28 WIB

Profil Cak Nun, Budayawan Dunia yang Lahir dari Kehidupan Jalanan

Abu Nadzib  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Emha Ainun Nadjib di kediaman orang yang sering disebutnya sebagai guru, Umbu Landu Paranggi di Bali tahun 2017. Umbu Landu meninggal dunia 6 April 2021. (Istimewa)

Solopos.com, YOGYAKARTA — Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) sedang berjuang untuk sembuh setelah mengalami pendarahan otak, Kamis (6/7/2023).

Cak Nun dirawat intensif di RSUP Dr Sardjito, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Advertisement

Berikut profil Cak Nun yang oleh banyak kalangan diakui sebagai salah satu bapak bangsa, seperti dikutip Solopos.com dari sejumlah sumber, Jumat (7/7/2023).

Cak Nun bernama lengkap Muhammad Ainun Nadjib.

Ia lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 sehingga usianya saat ini tercatat 70 tahun.

Ragam dan cakupan tema pemikiran, ilmu, dan kegiatan Cak Nun sangat luas.

Suami Novia Kolopaking itu menguasai banyak bidang ilmu antara lain sastra, teater, tafsir, tasawuf, musik, filsafat, pendidikan, kesehatan, Islam, dan lain-lain.

Cak Nun dikenal sebagai seniman, budayawan, penyair, cendekiawan, ilmuwan, sastrawan, aktivis-pekerja sosial, pemikir, dan kiai.

Cak Nun juga dianggap sebagai tokoh penting menjelang kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998.

Advertisement

Menjelang kejatuhan Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke Istana Merdeka untuk dimintai nasihatnya.

Celetukan mendiang Soeharto menjelang jatuh yakni ‘ora dadi presiden ora patheken’ (tidak jadi presiden tidak apa-apa) juga muncul dari ide Cak Nun.

Cak Nun mengaku menjadi salah satu kreator tentang reformasi setelah Soeharto turun tahta.

Namun ternyata munculnya sejumlah orang yang dianggapnya pahlawan kesiangan membuat ia gerah.

Cak Nun pun memutuskan tidak lagi mau tampil di televisi nasional. Ia hanya mau mengisi acara yang diadakan televisi-televisi lokal.

Setelah Reformasi 1998, Cak Nun bersama Gamelan Kiai Kanjeng memfokuskan berkegiatan bersama masyarakat di pelosok Indonesia.

Aktivitasnya berjalan terus dengan menginisiasi Masyarakat Maiyah, yang berkembang di seluruh negeri hingga mancanegara.

Advertisement

Kehidupan pribadi

Cak Nun merupakan anak keempat dari 15 bersaudara pasangan dari pasangan Muhammad Abdul Latief dan Chalimah.

Ayahnya seorang petani sekaligus tokoh agama yang sangat dihormati masyarakat Desa Menturo, Sumobito, Jombang.

Juga seorang pemimpin masyarakat yang menjadi tempat bertanya dan mengadu tentang masalah yang masyarakat hadapi.

Begitu juga ibunya menjadi panutan warga yang memberikan rasa aman dan banyak membantu masyarakat.

Dalam ingatan Cak Nun, ketika ia kecil sering diajak ibunya mengunjungi para tetangga, menanyakan keadaan mereka.

Apakah mereka bisa makan dan menyekolahkan anak.

Pengalaman ini membentuk kesadaran dan sikap sosialnya yang didasarkan nilai-nilai Islam.

Advertisement

Pendidikan formal Cak Nun dimulai dari sekolah dasar di desanya.

Cak Nun kecil terhadap segala bentuk ketidakadilan, ia sempat dianggap bermasalah oleh para guru karena memprotes dan menendang guru yang dianggapnya tak berlaku adil.

Suatu ketika ada guru terlambat mengajar, dan Cak Nun memprotesnya.

Karena sebelumnya Cak Nun pernah terlambat masuk sekolah dan dihukum berdiri di depan kelas sampai pelajaran usai.

Hukuman itu ia jalani sebagai konsekuensi kesalahannya dan itu merupakan aturan sekolah.

Maka tatkala ada guru terlambat, menurut Cak Nun, aturan yang sama harus diberlakukan.

Dan ujungnya, ia keluar dari SD yang dianggapnya menerapkan aturan yang tidak adil itu.

Advertisement

Kemudian oleh ayahnya, Cak Nun dikirim ke Pondok Modern Darussalam Gontor.

Pada masa tahun ketiganya di Gontor, ia sempat menggugat kebijakan pihak keamanan Pondok yang dianggapnya tidak berlaku adil.

Ia pun memimpin “demonstrasi” bersama santri-santri lain sebagai bentuk protes. Namun protes itu berujung dengan dikeluarkannya Cak Nun dari pondok.

Meskipun hanya 2,5 tahun, belajar di Ponpes Gontor memberikan kesan mendalam baginya. Budaya santri mengakar kuat dalam dirinya sehingga ia memiliki disiplin pesantren.

Kemudian Cak Nun kemudian merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan belajar di SMP Muhammadiyah 4 dan berlanjut ke SMA Muhammadiyah 1.

Ia satu kelas dengan Busyro Muqoddas yang belakangan menjadi Ketua KPK.

Sempat kuliah di Fakultas Ekonomi UGM, Cak Nun hanya bertahan satu semester.

Advertisement

Sebenarnya ia juga diterima di Fakultas Filsafat UGM namun tidak mendaftar ulang.

Keluarga

Dari istri pertamanya, Cak Nun mendapatkan anak bernama Sabrang Mowo Damar Panuluh (Noe), vokalis grup band Letto.

Sama dengan Cak Nun, Noe kini juga kerap menjadi pembicara dan berceramah tentang kehidupan.

Istri kedua Cak Nun adalah penyanyi Novia Kolopaking. Dari Novia, Cak Nun dikaruniai empat anak yaitu Ainayya Al-Fatihah (meninggal di dalam kandungan), Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, dan Anayallah Rampak Mayesha.

Terkenal dari Jalanan

Ketika masih SMA di tahun 1969, Cak Nun memulai proses kreatifnya dengan hidup “menggelandang” di Malioboro, Yogyakarta selama lima tahun hingga 1975.

Malioboro ketika itu menjadi tempat bertemu para aktivis mahasiswa, sastrawan, dan seniman Yogyakarta.

Malioboro menjadi salah satu poros dalam jalur Bulaksumur-Malioboro-Gampingan yang menandakan dialektika intelektual-sastra-seni rupa.

Advertisement

Di Malioboro ini, Cak Nun bergabung dengan PSK (Persada Studi Klub), sebuah ruang studi sastra bagi penyair muda Yogyakarta yang diasuh oleh Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius.

Dalam berbagai kesempatan, Cak Nun mengatakan pertemuan dengan Umbu memberikan pengaruh dalam perjalanan hidupnya kelak.

PSK yang aktif hingga 1977 melahirkan sejumlah sastrawan terkemuka Indonesia, di antaranya Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santosa, Ragil Suwarna Pragolapati, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, dan Cak Nun sendiri.

Kehidupan di PSK, di bawah asuhan Umbu, memang menuntut setiap penyair mudanya untuk berpacu setiap saat dengan “kehidupan puisi”.

Dan ketika di PSK, Cak Nun termasuk yang produktif menghasilkan karya sehingga di usia yang masih belia, belum genap 17 tahun, ia sudah mendapatkan legitimasi sebagai penyair garda depan yang dimiliki Yogyakarta.

Pada usia 24-25, esai-esai Cak Nun sudah diakui publik dan diterima harian Kompas dan Majalah Tempo.

Di Tempo, Cak Nun menjadi kolumnis termuda majalah itu.

Sebagai sastrawan, Cak Nun kerap diundang dalam beberapa acara internasional.

Profesor Ben White dari Institute of Social Studies Den Haag menyukai pemikiran Cak Nun sehingga didukung untuk berkegiatan di Belanda selama setahun.

Tahun 1985, Cak Nun mengikuti Festival Horizonte III di Berlin, Jerman. Pada festival ini, ia membacakan puisi-puisinya yang dipadukan dengan ayat-ayat Al-Qur`an.

Sejak itu Cak Nun dikenal luas sebagai budayawan yang kerap tampil di forum-forum internasional.

Di era Reformasi Cak Nun menjadi sosok penting yang kerap dimintai pendapat oleh Presiden Soeharto.

Meski sering berseberangan pendapat, Soeharto bisa dekat dengan Cak Nun, tidak seperti dengan sejumlah tokoh lainnya seperti Gus Dur dan Amien Rais.

“Karena Pak Harto tahu saya tidak ada kepentingan politik. Kritik saya murni kritik untuk kebaikan,” sebut Cak Nun dalam sejumlah kesempatan, tentang kedekatannya dengan Soeharto.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif