News
Minggu, 11 Oktober 2015 - 20:00 WIB

POLEMIK PG COLOMADU : Meski Ada Sertifikat, Klaim Keturunan PB VIII Cacat Sejarah

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Papan nama terpasang di depan rumah dinas pegawai di PG Colomadu, Rabu (7/10/2015) siang. (Eni Widiastuti/JIBI/Solopos)

Polemik PG Colomadu dan klaim keturunan PB VIII melalui Yayasan Surokarto Hadiningrat dianggap tak sesuai sejarah.

Solopos.com, SOLO — Pengamat sejarah Heri Priyatmoko menilai klaim kepemilikan pabrik gula (PG) Colomadu oleh keturunan Paku Buwono (PB) VIII mengandung anakronisme sejarah. Pengamat yang pernah melakukan penelitian mengenai Mangkunagoro (MN) IV ini menyebutkan bukti sertifikat kepemilikan tanah yang disampaikan Yayasan Surokarto Hadiningrat tidak sesuai dengan fakta sejarah.

Advertisement

Heri menyebutkan pascaperjanjian Salatiga 17 Maret 1757 silam, Mangkunegoro I dipersilakan menempati rumah Patih Sindurejo dan diberi tanah lungguh seluas 4.000 karya. Tanah tersebut meliputi wilayah Keduwang, Laroh, Matesih, Wiraka, Haribaya, Hanggabayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang (sebelah selatan jalan besar Kartasura-Solo), Pajang (sebelah utara jalan besar Kartasura-Solo, termasuk Colomadu atau Malang Jiwan), Mataram, serta Kedu.

Ketika Mangkunagoro I mangkat, tampuk kepemimpinan dilanjutkan cucunya bernama Pangeran Suryataman yang diangkat menjadi Prangwedana sejak 26 Januari 1792.

Advertisement

Ketika Mangkunagoro I mangkat, tampuk kepemimpinan dilanjutkan cucunya bernama Pangeran Suryataman yang diangkat menjadi Prangwedana sejak 26 Januari 1792.

“Awalnya MN I memang menempati tanah pinjaman dari Keraton Kasunanan. Tapi setelah MN II naik tahta, terbit perjanjian baru yang menyatakan status tanah yang semula pinjaman menjadi milik Mangkunegaran. Sejak itulah status Mangkunegaran merdeka dan menguasai tanah secara turun-temurun,” katanya ketika berbincang dengan Solopos.com di Laweyan, Sabtu (10/10/2015).

Selama masa peralihan kekuasaan, kata akademisi Universitas Sanata Darma Jogja ini, wilayah Mangkunegaran mengalami beberapa kali perubahan. Saat kali pertama berdiri pada 1757, luas wilayah awal Mangkunegaran sekitar 4.000 karya atau sekitar 2.800 hektare. Ketika Mangkunagoro II naik tahta, wilayah kekuasaannya mekar menjadi 3.500 hektare.

Advertisement

Tak lama berselang pada 1830, Mangkunagoro II kembali mendapatkan hadiah tanah dari Belanda atas jasanya membantu memenangkan Perang Diponegoro. Dengan demikian luas tanah Mangkunegaran berkembang menjadi 5.500 karya atau setara 3.850 hektare.

“Tahun berkuasanya PB VIII dan MN IV tidak ada perjanjian lagi yang menunjukkan tanah harus dibelah lagi. Malah justru ada gejala pengembangan tanah kekuasaan MN II sampai MN IV. Peran-peran raja waktu itu membuat wilayah Istana Mangkunegaran terus meluas. Tidak ada istilahnya pengurangan wilayah, yang ada malah pemekaran dan penambahan,” jelasnya.

Heri membandingkan peran kepemimpinan Paku Buwono VIII dan Mangkunegaran IV. “Melihat sejarahnya, posisi PB VIII tidak moncer. Tidak ada peristiwa ekonomi dan politik yang signifikan. Pada periode tersebut, justru MN IV yang jadi sorotan. Pembangunan pabrik gula di Malang Jiwan [PG Colomadu] menandai kebangkitan pribumi di bidang ekonomi. Masa itu menjadi sejarah karena ada raja yang tak lagi mendapat penghasilan dari upeti atau pajak dari rakyatnya. MN IV menjadi satu-satunya raja yang bergelut di bidang bisnis perkebunan waktu itu,” bebernya.

Advertisement

Menurut Heri, latar belakang pendirian PG Colomadu oleh raja yang berkuasa 1853-1881 tersebut didasari beberapa alasan. Salah satunya untuk menutup utang kerajaan kepada Belanda serta mencari gengsi di antara penguasa kerajaan di Jawa.

“MN IV punya gagasan mengubah Malangjiwan yang sebelumnya hanya tanah lunggguh menjadi industri pengolahan tebu. Ada kebijakan revolusi gaji pegawai dari tanah menjadi uang. Langkah itu dipilih setelah melihat komoditi ekspor perkebunan dari komunitas Eropa cukup menggiurkan. Keuntungan tersebut bisa dipakai untuk menutup utang dari Belanda yang cukup banyak serta operasional keraton. Mangkunegaran jadi unggul di antara keraton lain waktu itu,” bebernya.

Dengan beberapa fakta sejarah tersebut, Heri meyakini status kepemilikan tanah PG Colomadu berada di bawah Mangkunegaran yang selanjutnya diserahkan kepada pemerintah. “Klaim ini sangat ngoyoworo. Bisa dikatakan golek-golek. Karena sejak MN II tanah sudah jadi hak milik turun-temurun. Anakronisme sejarah sangat jelas di sini,” pungkasnya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif