News
Senin, 23 Januari 2023 - 18:17 WIB

Plus Minus Sosial Media untuk Siswa, Ini Kata Guru dan Psikolog

Dhima Wahyu Sejati  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Suasana kegiatan belajar mengajar (KBM) SMA Al-Azhar Syifa Budi Solo, Jumat (6/1/2023). Ada sejumlah plus dan minus ketika siswa bermedsos. (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO—Sosial media masih menjadi pisau bermata dua untuk siswa sekolah. Salah satu guru SMK Wikarya Karanganyar, Agus Yulianto, 35, mengatakan sosial media bisa saja menjadi ruang ekspresi bagi siswa.

“Sosial media untuk para peserta didik sangat baik sekali asal digunakan sesuai kapasitas usia mereka. Apalagi generasi saat ini atau yang disebut Gen Z mereka rata-rata hidup dan tumbuh dari media sosial,” kata Agus kepada Solopos.com, Senin (23/1/2023).

Advertisement

Guru asal Karanganyar itu memaparkan jika para siswa bisa memanfaat sosial media dengan bijak dan digunakan sebagai wadah mengembangkan potensi mereka itu akan memberikan dampak positif.

“Misal dengan menjadi konten kreator dan membuat konten yang positif,” imbuh dia.

Advertisement

“Misal dengan menjadi konten kreator dan membuat konten yang positif,” imbuh dia.

Namun, dia juga mengingatkan media sosial ini juga memberikan efek negatif bagi siswa. “Banyak juga konten-konten yang bermunculan di medsos tanpa ada penyaringan. Kayak gaya pacaran yang aneh-aneh, kasus kekerasan, dan bullying yang dibikin konten,” kata dia.

Selain itu, konten yang dianggap kurang baik itu, bisa saja menghasilkan tren buruk yang diikuti oleh para siswa. “Itu bisa menjadi salah satu media bagi mereka untuk ikut-ikuttan. Karena anak sekarang itu yang terpenting viral, jadi terkenal, terus diundang di TV atau sejenisnya,” katanya. 

Advertisement

Bandwagon Effect merupakan salah satu bentuk bias kognitif karena adanya pengaruh dari orang lain maupun kelompok,” ungkap Fadjri, dikutip dari rilis yang diterima Solopos.com, Selasa (17/1/2023).

Bandwagon Effect, kata dia, menggambarkan sebuah fenomena psikologi di mana seseorang cenderung mengikuti tren, gaya, dan sikap, terutama jika sudah menjadi tren. Hal ini karena dipengaruhi oleh banyak orang juga melakukan hal serupa.

Fadjri menambahkan bahwa tren atau sesuatu yang viral, biasa bermula dari media sosial. Exposure tinggi dari media sosial berpotensi mempengaruhi orang, lalu muncul dorongan atau penasaran untuk mengikuti tren tersebut. 

Advertisement

Dia mengatakan exposure ini makin berhasil membuat orang berperilaku ikut-ikutan.

“Hal ini karena, pertama, ada konformitas. Siapa pemeran dalam exposure tersebut akan mempengaruhi kita, mau ikut-ikutan atau tidak,” jelasnya.

Selain itu bisa saja perilaku ikut-ikutan itu berasal dari bujukan orang lain. “Mungkin saja ada exposure tinggi melalui media sosial, tetapi kita melakukan hal yang sama bukan karena tren dari media sosial melainkan karena informasi atau bujukan dari orang yang dekat dengan kita,” imbuh dia. 

Advertisement

Bukan tidak mungkin, kata Fadjri, perilaku mengikuti tren berasal dari diri sendiri.

“Bisa jadi karena Fear of Missing Out (FOMO), sehingga jika tidak ikut-ikutan muncul perasaan ketinggalan. Atau bisa juga karena curiosity yaitu penasaran dengan apa yang terjadi karena adanya exposure di medsos,” katanya.

Fadjri mengingatkan agar bijak dalam menyikapi sesuatu yang sedang tren atau tengah viral di sosial media. Terkhusus untuk siswa sekolah. “Ikut-ikutan boleh. Asal sebelum melakukan, perlu dipikirkan matang-matang mengenai kebutuhan dan dampak pada diri. Dengan demikian, keputusan yang diambil atas dasar rasionalitas bukan intuisi karena ikut-ikutan,” kata dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif