News
Selasa, 29 September 2015 - 18:30 WIB

PILKADA SERENTAK 2015 : MK: Calon Tunggal Maju Terus, Pilkada Jadi Referendum

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Ardiansyah Indra Kumala/JIBI/Solopos)

Pilkada serentak 2015 diwarnai polemik tentang nasib daerah yang hanya memiliki pasangan calon tunggal.

Solopos.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan peluang penyelenggaraan pilkada dengan calon tunggal melalui mekanisme referendum guna menjamin hak konstitusional rakyat agar tetap bisa memilih dan dipilih.

Advertisement

Dalam salinan putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015, mekanisme referendum tersebut dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada rakyat (pemilih) untuk menyatakan “Setuju” atau “Tidak Setuju” dalam surat suara yang didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan rakyat atau pemilih menentukan pilihan.

Apabila pilihan setuju memperoleh suara terbanyak, maka pasangan calon ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Namun jika tidak setuju memperoleh suara terbanyak, maka pemilihan ditunda sampai pilkada berikutnya.

Kendati demikian, MK mensyaratkan adanya usaha yang sungguh-sungguh dari Komisi Pemilihan Umum (KPU)—sebagai penyelenggara pilkada—untuk lebih dulu memenuhi syarat adanya dua pasangan calon. “Dalam artian, penyelenggaraan pilkada dengan calon tunggal bisa digelar setelah KPU sudah mengusahakan pemenuhan minimal dua pasangan calon sesuai aturan yang berlaku,” kata Suhartoyo, hakim MK, Selasa (29/9/2015).

Advertisement

Putusan MK tersebut merupakan respons dari permohonan uji materi UU No. 8/2015 tentang Pilkada yang diajukan oleh Effendi Gazali cs lantaran tidak memberikan jalan keluar saat syarat dua pasangan calon tidak terpenuhi dalam penyelenggaraan pilkada.

Hakim MK, I Gede Dewa Palguna, mengatakan keputusan tersebut diambil lantaran penundaan pilkada hanya karena calon tunggal dianggap tidak menyelesaikan masalah. “Karena bukan tidak mungkin, dalam pilkada hasil penundaan itu hanya ada satu calon tunggal.”

Namun hakim MK lain, Patrialis Akbar, berbeda pandangan. Dia beranggapan bahwa keputusan itu berisiko memunculkan liberalisasi politik untuk memenangkan satu pasangan calon. Caranya, bisa dilakukan oleh para pemilik modal dengan menguasai sebagian besar partai politik dengan tujuan untuk menutup kesempatan calon lain.

Advertisement

Selanjutnya, dalam putusan lain No. 68/PUU-XIII/2015, MK meringankan syarat calon independen dalam pilkada serentak agar partai politik tidak menjadi satu-satunya kendaraan untuk mencalonkan sebagai kepala daerah. Jika sebelumnya calon independen disyaratkan memiliki dukungan dengan persentase jumlah penduduk, kini cukup berdasarkan persentase jumlah daftar pemilih tetap (DPT) pilkada periode sebelumnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif