News
Senin, 30 Agustus 2021 - 19:17 WIB

Pidato Kebangsaan Ketum PP Muhammadiyah: Pancasila Moderat, Jangan Ditarik ke Kanan atau ke Kiri

Newswire  /  Haryono Wahyudiyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. (Gambar layar YouTube)

Solopos.com, JAKARTA – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyampaikan pidato kebangsaan memperingati HUT ke-76 Kemerdekaan Indonesia. Haedar Nashir mengatakan Pancasila adalah fondasi kebangsaan yang moderat sehingga tidak perlu ditarik ke kiri atau ke kanan.

Haedar mengatakan Indonesia yang telah merdeka dari belenggu penjajah hingga saat ini berdiri kukuh di atas Pancasila. Proklamator Soekarno memposisikan Pancasila sebagai philosophische grondslag atau weltanschauung yaitu sebagai fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.

Advertisement

Haedar menuturkan Pancasila yang perumusannya mengalami proses dinamis sejak pidato Soekarno 1 Juni 1945, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan rumusan final 18 Agustus 1945 merupakan konsensus nasional dari seluruh golongan bangsa Indonesia yang berlatar belakang majemuk menjadi Bhinneka Tunggal Ika.

Baca Juga: Waspadai Gagasan Amendemen UUD 1945, Ketum Muhammadiyah:  Jangan Ada Kepentingan Sesaat

Advertisement

Baca Juga: Waspadai Gagasan Amendemen UUD 1945, Ketum Muhammadiyah:  Jangan Ada Kepentingan Sesaat

“Menurut sejarawan Furnivall [2009] bangsa majemuk pada dasarnya nonkomplementer laksana air dan minyak. Tetapi Alhamdulillah bangsa Indonesia yang majemuk itu dapat bersatu karena ada nilai yang mempersatukan yaitu Pancasila [Nasikun, 1984],” ujar Haedar saat menyampaikan pidato kebangsaan bertajuk Indonesia Jalan Tengah, Indonesia Milik Semua, Senin (30/8/2021).

Haedar melanjutkan, konsensus seluruh komponen bangsa untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara dihasilkan dari jiwa kenegarawanan para pendiri negara. Kemudian, peran tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo bersama tokoh Islam lain dalam konsensus yang bersejarah itu sangat besar, dengan kesediaan melepas tujuh kata pada Piagam Jakarta yang dikonversi menjadi sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Advertisement

Baca Juga: Update Covid-19 Indonesia: Hari Ini Kasus Positif Tambah 5.436

 

Titik Temu

Menurut Haedar, Pancasila sebagai titik temu dari kemajemukan terjadi selain atas jiwa kenegarawanan para tokoh bangsa melalui proses musyawarah-mufakat, secara substansial di dalamnya terkandung ideologi tengahan atau moderat.

Advertisement

“Ketika Soekarno menawarkan lima sila dari Pancasila dalam sidang BPUPKI tergambar kuat pemikiran moderat atau jalan tengah,” ucapnya.

Mengenai “nasionalisme” atau “kebangsaan” Soekarno menegaskan, Indonesia harus menuju persatuan dan persaudaraan dunia. Lalu mengenai sila kedua internasionalisme, Soekarno pun mengingatkan internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalamnya nasionalisme. Begitu pun sebaliknya.

Baca Juga: Klaten PPKM Level 4, Tim Gabungan Gelar Penyekatan di Perbatasan Jateng-DIY

Advertisement

Kemudian tentang sila “mufakat” atau “kerakyatan”, Soekarno menyatakan, Indonesia bukan satu negara untuk satu orang atau golongan, tetapi untuk semua. Indonesia dapat kuat dengan permusyawaratan perwakilan. Lalu demokrasi yang didasari oleh permusyawaratan harus mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.

Demikian halnya tentang sila “kesejahteraan”, Soekarno tidak ingin Indonesia merdeka hanya dihuni oleh kaum kapital yang merajalela. Soekarno ingin semua orang yang ada di dalam negara bisa sejahtera dan merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi.

Selanjutnya, mengenai sila ketuhanan, Soekarno dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia merdeka harus didasari dengan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan begitu, hendaknya masing-masing orang Indonesia bertuhan dengan Tuhannya sendiri.

Baca Juga: Ada Hall dan Food Court, Terminal Tirtonadi bakal Jadi Pusat Kegiatan Baru Warga Solo

 

Pancasila di Tengah

“Pemikiran Soekarno tentang Pancasila itu sangatlah moderat. Karenanya Pancasila maupun Negara Republik Indonesia jangan ditarik ‘ke kanan’ dan ‘ke kiri’, tetapi letakkanlah di posisi tengah agar tetap menjadi rujukan bersama kehidupan berbangsa dan bernegara,” tutur Haedar.

Lebih lanjut, Haedar tidak ingin Pancasila yang moderat ditafsirkan dan diimplementasikan dengan pandangan-pandangan “radikal-ekstrem” apa pun, karena akan bertentangan dengan hakikat Pancasila itu sendiri.

“Pikiran-pikiran nasionalisme yang radikal-ekstrem [ultranasionalisme, chauvinisme], keagamaan yang radikal-ektrem [cita-cita negara agama atau teokrasi, fundamentalisme agama], multikulturalisme radikal-ekstrem [paham demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan toleransi liberal-sekular], sosialdemokrasi, dan segala ideologi radikal-elstrem lainnya seperti komunisme dan liberalisme-sekularisme tidaklah sejalan dengan Pancasila yang berwatak-dasar moderat,” tutur Haedar.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif