News
Minggu, 12 Agustus 2012 - 07:02 WIB

Pengajaran Kewirausahaan Dinilai Tak Tepat

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ratusan orangtua dan siswa SMA Pangudi Luhur St Yosef Solo mengikuti Seminar Peluang Wirausaha di Aula SMA PL St Yosef Solo, Sabtu (11/8).(Espos/Eni Widiastuti


Ratusan orangtua dan siswa SMA Pangudi Luhur St Yosef Solo mengikuti Seminar Peluang Wirausaha di Aula SMA PL St Yosef Solo, Sabtu (11/8).(Espos/Eni Widiastuti

SOLO–Pengajaran mata kuliah kewirausahaan di perguruan tinggi atau pun mata pelajaran kewirausahaan di sekolah, dinilai tak tepat. Pasalnya selama ini materi kewirausahaan disampaikan hanya sebagai ilmu pengetahuan.

Advertisement

Pendapat itu disampaikan salah satu pengusaha yang juga trainer, FX Budhi Hendarto, saat jumpa pers di sela-sela kegiatan Seminar Peluang Wirausaha yang digelar Ikatan Alumni SMA Pangudi Luhur (PL) St Yosef Solo di Aula SMA PL St Yosef Solo, Sabtu (11/8/2012).

Budhi menguraikan sebenarnya semangat kewirausahaan yang digelorakan di sekolah dan perguruan tinggi, sangat baik. Syaratnya pembekalan dan pengarahannya tidak salah. Sayangnya yang terjadi di lapangan, terjadi kesalahan metode pengajaran kewirausahaan.

“Kewirausahaan bukan scien and art [ilmu pengetahuan dan seni], tapi praktik,” ujarnya.

Advertisement

Menjadi seorang wirausaha, terangnya, bukan karena memiliki bakat berwirausaha. Tapi semua orang sebenarnya bisa menjadi pengusaha asalkan mau praktik. Tapi karena mata kuliah kewirausahaan selama ini disampaikan sebagai ilmu pengetahuan, akibatnya justru banyak orang takut berwirausaha.
Ia mencontonkan, saat mempelajari kewirausahaan, guru atau dosen terkadang langsung memberikan materi soal neraca perhitungan laba rugi. Akibatnya siswa atau mahasiswa takut memulai usaha karena takut rugi. Akibat selanjutnya siswa/mahasiswa berpikir lebih baik menjadi pekerja yang tidak memikirkan soal rugi. “Masalah laba rugi bukan tidak penting. Tapi penyampaiannya harus pada waktu yang tepat,” katanya.

Seharusnya ketika awal pembelajaran kewirausahaan, ungkapnya, siswa/mahasiswa diberikan materi tentang langkah-langkah berwirausaha, bagaimana berkomunikasi dengan orang lain, bagaimana meyakinkan orang lain. Selanjutnya siswa/mahasiswa diminta praktik menjual suatu produk agar mentalnya terbentuk.

“Seorang siswa/mahasiswa dikatakan lulus mata pelajaran kewirausahaan, seharusnya ketika siswa tersebut mulai membuka usaha baru. Bukan karena
hasil ujian kewirausahaan nilainya baik,” terangnya.

Advertisement

Waka Kurikulum SMA PL St Yosef Solo, Petrus Edi Kristanto, menerangkan karena keterbatasan waktu, pengajaran kewirausahaan di SMA PL Santo Yosef belum menjadi mata pelajaran tersendiri. Tapi masih terintegrasi dalam setiap mata pelajaran. “Siswa juga belum diarahkan untuk praktik berwirausaha,” katanya.

Selain karena metode pengajaran yang salah, kata Budhi, belum banyaknya siswa/mahasiswa yang akhirnya menjadi pengusaha, karena paradigma kebanyakan orangtua yang salah. Banyak orangtua memilih memiliki anak yang berijazah, bukan anak yang memiliki banyak uang. Buktinya, orangtua lebih bangga mengatakan anaknya kuliah di suatu perguruan tinggi ternama, daripada mengatakan anaknya menjadi penjual. “Ini kekeliruan budaya yang harus diperbaiki,” ujarnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif