News
Jumat, 16 Oktober 2015 - 15:02 WIB

PENDIDIKAN TINGGI : Rektor UMS: Rasio Dosen Tetap 1:30 Matikan Kampus Swasta

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Undar Jombang pascapenonaktifan Kemenristek Dikti, Senin (1/6/2015). (JIBI/Solopos/Antara/Syaiful Arif).

Perguruan tinggi swasta (PTS) terancam mati jika rasio dosen tetap harus mencapai 1:30.

Solopos.com, SUKOHARJO — Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) yang mendorong agar perguruan tinggi swasta (PTS) mengangkat dosen tetap sampai rasio 1:30, dinilai justru bisa mematikan PTS.

Advertisement

Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Bambang Setiaji, mengatakan menurut pengalaman UMS, gaji pegawai biasanya menyerap 80%-90% anggaran universitas. Jika jumlah dosen tetap semakin banyak, semakin banyak anggaran universitas yang terserap untuk gaji dosen.

Padahal sejak didirikan, PTS memakai sistem dosen tidak tetap. Pada tahun 1980-an, komposisinya 30% dosen tetap dan 70% dosen tidak tetap. PTS yang berkembang seperti UMS, komposisinya 50-50.

“Kemenristek Dikti tidak perlu risau dengan dosen tidak tetap. Yang penting PTS bertanggung jawab terhadap jumlah tatap muka, tidak membiarkan kelas-kelas kosong,” jelasnya saat memberikan sambutan pada acara puncak milad ke-57 UMS di Auditorium UMS, Jumat (16/10/2015).

Advertisement

Menurut Bambang Setiaji, sistem dosen tidak tetap justru merupakan sistem yang unggul untuk pembelajaran S1. Hal itu karena sstem tersebut memadukan antara teori dan praktek di berbagai industri yang mendalam dalam aplikasi. Hal yang penting diawasi bukan dari mana asal dosennya, tapi apakah mereka memiliki kualifikasi yang baik dan berfungsi sebagaimana mestinya.

Ia mencontohkan, di usia yang ke-57, UMS kini memiliki hampir 28.000 mahasiswa aktif. UMS memiliki 550 dosen tetap dan 300 karyawan. Jika mengikuti arahan Kemenristek Dikti, UMS membutuhkan hampir dua kali lipat jumlah dosen tetap dari jumlah dosen tetap yang dimiliki saat ini. Menurutnya, kebijakan itu tidak tepat.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif