News
Selasa, 25 Oktober 2011 - 13:51 WIB

Pelaku terorisme harus diposisikan seperti pasien narkoba

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - TEROR -- Jenazah pelaku serangan bom di GBIS Kepunton Solo akhir September lalu. (JIBI/SOLOPOS/dok)

TEROR -- Jenazah pelaku serangan bom di GBIS Kepunton Solo akhir September lalu. (JIBI/SOLOPOS/dok)

Solo (Solopos.com ) –Pemerintah harus memperlakukan para pelaku dan korban kejahatan terorisme seperti pelaku atau korban narkoba. Penanganan tersebut dinilai lebih efektif karena tak semua kejahatan terorisme dilakukan atas kesadaran sendiri.

Advertisement

“Tak sedikit pelaku terorisme hanyalah korban dari cuci otak. Mereka harus diperlakukan adil, layaknya rehabilitasi Narkoba,” kata Ahmad Ghozali, peneliti Islam dan Terorisme dalam acara dialog mengenai terorisme di Gedung Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), Laweyan, Solo, Selasa (25/10/2011). Hadir dalam acara tersebut, perwakilan Jamaah Ansorut Tauhid (JAT) Sho’an Haji, serta perwakilan MUI Jateng, Ahmad Daroji.

Sepanjang penelitiannya, jelas Ghozali, tak sedikit kejahatan terorisme berawal dari ketidaktahuan. Bahkan, mereka yang dicap sebagai pelaku terorisme semula berasal dari orang-orang baik yang ramah, toleran, dan terbuka. “Sayang, mereka sudah telanjur dicap sebagai radikal. Perilaku mereka akhirnya menjadi keras,” tambahnya.

Ghozali menegaskan, sejarah kelahiran fundamentalisme Islam di Indonesia sebenarnya bukanlah untuk mendirikan negara Islam. Melainkan, untuk memperkuat posisi negara dalam melawan hegemoni kekuasaan kapitalis. “Itu pula yang dilakukan Pangeran Diponegoro dan tokoh Islam di jaman revolusi,” terangnya.

Advertisement

Darodji menambahkan, istilah deradikalisasi Islam sebenarnya kurang tepat. Sebab, Islam tak pernah mengajarkan sikap radikal, baik dalam berpikir dan bersikap. Islam adalah agama toleran dan tak pernah mengajarkan kekerasan. “Yang radikal itu hanya segelintir orang saja. Bukan Islamnya,” tegasnya.

Itulah sebabnya, Darodji mengajak media untuk ikut menjaga kondusivitas negara. Salah satunya ialah ketika terjadi penangkapan terorisme agar media tak menyiarkan gambar atau foto secara vulgar tentang simbol-simbol suci, seperti Alquran. “Kalau yang ditampilkan gambar Alquran, orang menyangka Islam mengajarkan kekerasan. Padahal, itu hanya ulah segelintir orang,” paparnya.

asa

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif