Redaksi Solopos.com / R. Bambang Aris Sasangka | SOLOPOS.com
Menurut Anggota Tim Kajian UU N0 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut, penerapan bentuk hubungan kerja dalam pasar kerja flexibel berdampak negatif pada kelompok pekerja miskin dan tidak terampil, yaitu menurunkan pendapatan dan menambah tingkat kemiskinan serta melemahnya posisi tawar pekerja. Kondisi ini semakin serius dihadapi pasar kerja di Indonesia yang over supply, berpendidikan rendah dan kurang terampil.
“Sebenarnya konsep kita yaitu penerapan Pasar Kerja Flexibel (PKF) itu memerlukan jaminan sosial yang memadai, kesempatan kerja yang cukup, dukungan kebijakan dan hubungan industrial yang terintegrasi serta SDM berpendidikan dan terampil,” kata dia. Karena itu, pemerintah harus mengarah kepada paradigma flexicurity, yaitu adanya keseimbangan PKF dan perlindungan tenaga kerja (job security).
Artinya, kata dia, apabila outsourcing akan diterapkan secara longgar harus disertai dengan pemberlakuan jaminan sosial nasional untuk perlindungan dan kesejahteraan pekerja. “Outsourcing tetap diperlukan namun pelaksanaannya harus tetap menjamin perlindungan pekerja. Outsourcing tidak dapat dilakukan untuk pekerjaan yang sedang dilakukan oleh pekerja tetap/kontrak di perusahaan yang sama,” kata dia.
Sebelumnya, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar telah menandatangani peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans ) mengenai pelaksanaan jenis pekerjaan alih daya (outsourcing). Permenakertrans baru itu sudah dikirimkan ke Kemhukham untuk disahkan sebagai berita negara dan diundangkan secara resmi. “Saya sudah tandatangan kemarin [Kamis] dan saat ini posisinya sedang dalam proses diundangkan di Kemenkumham,” kata Muhaimin di Jakarta, Jumat.