Redaksi Solopos.com / R. Bambang Aris Sasangka | SOLOPOS.com
Hal tersebut dalam putusan mereka terhadap dua pembantu rumah tangga asal Filipina. Lima hakim mahkamah banding secara bulat memutuskan Evangeline Banao Vallejos dan Daniel Domingo takkan diizinkan menetap di Hong Kong meski sudah tujuh tahun berturut-turut tinggal. Menurut mahkamah, pembantu rumah tangga tak bisa diperlakukan sebagai “warga negara biasa” terkait aturan kewarganegaraan karena terikat oleh kontrak yang memang mewajibkan mereka tinggal di wilayah itu dalam jangka waktu tertentu.
Pengadilan di tingkat lebih rendah sebelum ini memutuskan bahwa pasangan pembantu rumah tangga Filipina itu berhak mengajukan izin menjadi warga permanen Hong Kong. Setidaknya 280.000 pembantu rumah tangga asing bekerja di Hong Kong, sebagian besar dari Filipina dan Indonesia.
“Sifat domisili pembantu rumah tangga di Hong Kong sangat ketat. Pembantu rumah tangga harus kembali ke negara asalnya saat kontraknya berakhir dan sejak awal sudah diberitahu bahwa penerimaan mereka sebagai tenaga kerja [di Hong Kong] tidak untuk tinggal menetap,” tegas putusan mahkamah tersebut.
Persidangan pembacaan putusan diwarnai aksi unjuk rasa sekelompok pekerja migran asing di luar gedung. Mereka mengecam keputusan mahkamah dan menyebutnya sebagai diskriminasi terstruktur. “Hari ini adalah hari duka bagi pekerja migran di Hong Kong,” ujar Eman Villanueva, ketua kelompok advokasi warga Filipina, United Filipinos, di Hong Kong. “Putusan itu memberikan pengesahan hukum terhadap ketimpangan perlakukan dan pengucilan sosial pekerja pembantu rumah tangga asing di Hong Kong,” tukasnya.
Banyak warga Hong Kong atau warga asing di salah satu pusat perdagangan dan keuangan dunia itu yang mempekerjakan pembantu rumah tangga yang seperti di Indonesia tinggal bersama keluarga majikan dan mengurus banyak hal termasuk merawat anak-anak. Namun meski peran pembantu rumah tangga ini vital, secara hukum mereka tak tercakup dalam aturan ketenagakerjaan terkait upah minimum atau layanan mendasar lainnya.