News
Rabu, 27 September 2023 - 19:54 WIB

Media Digital Banjir Narasi Radikalisme, Masyarakat Diminta Waspada

Mariyana Ricky P.D  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Prof Irfan Idris, saat menyampaikan paparan dalam workshop regional yang digelar The Apex Chronicles bertajuk “Malaysia-Indonesia in Countering Radicalism, Extrimism and Terrorism Through Digital Media” di The Sunan Hotel Solo, Rabu (27/9/2023). (Istimewa/The Apex Chronicles)

Solopos.com, SOLO — Digital media menjadi sarana penyebaran narasi radikalisme, ekstremisme, dan terorisme dengan berbagai tujuan. Mulai dari rekrutmen, propaganda, pemecahan masyarakat, serta dukungan terhadap paham terorisme.

Hal tersebut disampaikan Pelaksana Harian (PLH) Kepala Sub-Direktorat Kontra Naratif Direktorat Pencegahan Dentasemen Khusus Anti Teror Kepolisian Republik Indonesia (Densus 88), AKBP Mayndra Eka Wardhana workshop regional yang digelar The Apex Chronicles bertajuk “Malaysia-Indonesia in Countering Radicalism, Extrimism and Terrorism Through Digital Media” di The Sunan Hotel Solo, Rabu (27/9/2023).

Advertisement

Dalam rilis yang diterima Solopos.com, Mayndra mengatakan identifikasi narasi-narasi semacam ini bisa dilakukan dengan memahami konteks narasi yang disebarkan, menganalisa apakah konten yang disebarkan memiliki potensi destruktif dan mengarah pada ajakan mengesampingkan Pancasila dan melanggar hukum yang berlaku di Indonesia.

Mengevaluasi informasi yang ditemukan apakah mengancam stabilitas nasional, mengedukasi diri dan orang lain tentang konten yang tergolong narasi radikalisme dan ekstrimisme, serta bertanya pada pihak yang kompeten untuk mengetahui pola penyebaran ideologi.

Advertisement

Mengevaluasi informasi yang ditemukan apakah mengancam stabilitas nasional, mengedukasi diri dan orang lain tentang konten yang tergolong narasi radikalisme dan ekstrimisme, serta bertanya pada pihak yang kompeten untuk mengetahui pola penyebaran ideologi.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada 2020 merilis adanya temuan 20.543 konten yang terindikasi sebagai konten yang bermuatan narasi radikalisme dan terorisme.

Sementara menurut laporan Institute for Youth Research Malaysia (IYRES), menyebutkan bahwa 83% dari individu yang ditangkap oleh Kepolisian Malaysia (PDRM) terpapar ideologi radikalisme dan terorisme dari internet.

Advertisement

Dari jumlah ini, 85% berasal dari kelompok anak muda kelahiran tahun 1981-1996 atau akrab disebut dengan milenial. Salah satu indikasi yang digunakan, mereka anti-Pancasila dan mendukung khilafah serta menganggap khilafah sebagai bentuk pemerintahan yang ideal.

“Cara untuk menghindari paparan dan dampak dari sebaran narasi radikalisme, ekstremisme, dan terorisme di ranah digital adalah, mengurangi eksposur, mengedukasi diri, mempromosikan pemahaman moderasi dan dialog, bijak bermedia sosial diantaranya menjaga privasi, saring sebelum sharing, dan melakukan kroscek kebenaran konten,” jelas Mayndra.

Sementara, Direktur Pencegahan BNPT, Prof Irfan Idris, mengatakan bahwa hal-hal seperti terpaparnya seseorang oleh narasi-narasi radikalisme hanya bisa ditanggulangi dengan kerjasama berbagai pihak.

Advertisement

“Segenap masyarakat, seluruh lapisan bangsa dan generasi ‘kids jaman now’ bangkit bersama, maju serempak melawan narasi provokatif yang sebagian mengatasnamakan tafsiran keagamaan yang bertujuan untuk mengorbankan keragaman dan keberagaman yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia.”

Principal Assistant Director Bukit Aman Special Branch on Counterterrorism, DCP Normah Ishak turut bergabung dalam workshop secara online dan mengulas tentang pengalaman dan strategi Kepolisian Diraja Malaysia tentang mitigasi yang dilakukan oleh PDRM dalam mengatasi dan mengkounter narasi radikalisme dan terorisme di dunia maya. Serta kerjasama yang terjalin antara penegak hukum di Malaysia dan Indonesia terkait masalah ini.

Berbagai tantangan yang dihadapi oleh Malaysia di dalam menangani dan mengambil tindakan terkait penyebaran narasi radikalisme di berbagai platform online dibahas secara mendalam oleh Dr Haezreena Begum Abdul Hamid dari Universiti Malaya. Serta menyoroti tentang bagaimana Malaysia dan Indonesia mengantisipasinya dengan tetap mempertimbangkan hak-hak asasi manusia.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif