News
Senin, 29 Mei 2017 - 20:30 WIB

Mau Mudik, Kakek Korban Perang Ini Sedih Kampung Halaman Sudah Tak Ada di Peta

Redaksi Solopos.com  /  Jafar Sodiq Assegaf  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mahmoud Abdelrahman Hamdan. (Alaraby.co.uk)

Kisah tragis kali ini tentang kakek tua korban Nakba yang merindukan kampung halaman setelah puluhan tahun terusir.

Solopos.com, SOLO – Peristiwa Nakba, pengusiran bangsa Palestina yang mendorong terbentuknya Israel pada 1948, menyisakan duka mendalam bagi Mahmoud Abdelrahman Hamdan. Pria berusia 82 tahun itu telah puluhan tahun tinggal di tempat pengungsian Maghazi di Jalur Gaza Tengah. Sebelum ajal menjemput, ia berharap bisa kembali ke kampung halaman yang sangat dirindukannya.

Advertisement

“Aku hanya ingin pulang ke kampung halamanku di Almoghar [tempat yang sudah tak ada di peta Israel maupun Palestina],” tutur Mahmoud seperti dikutip Solopos.com dari The New Arab, Sabtu (27/5/2017).

Almoghar adalah nama desa yang berjarak sekitar 12 km dari selatan kota Ramlal, Israel. Namun, desa tersebut kini sudah tidak ada lantaran dibinasakan oleh pemerintah Israel. Mahmoud sangat merindukan kehidupannya di desa yang telah tiada itu.

“Kembali ke Almoghar adalah keinginan terbesarku. Dulu, semua orang di sana hidup dengan bahagia tanpa masalah apapun. Aku ingat suatu hari pernikahan anak tetanggaku dirayakan dengan sangat meriah. Semua orang merayakannya dengan penuh suka cita,” kenang Mahmoud.

Advertisement

Sebelum peristiwa Nakba Palestina terjadi, Mahmoud sempat bekerja di restoran milik pemerintah Inggris. “Aku ingat betul saat usiaku 12 tahun, pemerintah Inggris merekrut banyak pemuda untuk bekerja, baik di pos keamanan maupun di restoran. Saat itu, aku menjadi tukang cuci piring. Bahkan, sampai saat ini aku masih ingat beberpa kosa kata dalam bahasa Inggris,” sambung dia.

Mahmoud juga merindukan suasana bulan Ramadan yang penuh suka cita di kampung halamannya. Menurutnya, orang-orang di kampungnya selalu berkumpul di lapangan saat berbuka puasa untuk meminum kopi sembari mengobrol. Para wanita lantas menyajikan kurma serta nasi campur daging yang disantap bersama-sama.

Semua kebahagiaan itu berubah menjadi duka saat Mahmoud dan penduduk lainnya dipaksa meninggalkan desa tersebut. Ia mengajak keluarganya mengungsi ke perkebunan milik salah seorang keluraga Palestina di pesisir kota Ashkelon. Namun, dua bulan kemudian ia kembali mengungsi ke suatu tempat bernama Barbara.

Advertisement

Sayang, Mahmoud dan keluarganya harus kembali pindah ke berbagai tempat, hingga akhirnya menetap di Maghazi. “Akhirnya kami pindah ke Jalur Gaza dan menetap di pengungsian Maghazi. Di sinilah kami membangun kembali kehidupan yang telah hancur,” katanya.

Hidup berpindah-pindah tanpa arah dan tujuan yang jelas membuat Mahmoud sangat menderita. Apalagi saat ini ia tak bisa menikmati masa tuanya. Ia menuding semua pemerintah di negara Timur Tengah bertanggung jawab atas nasib buruk yang menimpanya.

“Orang-orang Timur Tengah bertanggung jawab atas terbentuknya Israel dan nasib kami yang ada di sini. Mereka semestinya mencegah tindakan buruk Israel kepada bangsa kami. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, mereka malah menawarkan perdamaian ke Israel dan tidak memedulikan keadaan kami yang kehilangan tempat tinggal,” katanya kesal.

Peristiwa Nakba Palestina merupakan malapetaka yang diperingati setiap tahun. Peristiwa itu membuat lebih dari 700.000 warga Palestina terusir dari 450 desa yang mereka tinggali.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif