Solopos.com, JAKARTA — Jaksa Agung Republik Indonesia Sanitiar Burhanuddin menyatakan sanksi pidana mati untuk pelaku korupsi tidak berlaku untuk dana yang terkait dengan bencana non alam, termasuk korupsi dana bantuan Covid-19.
Menurut Jaksa Agung, berdasarkan norma Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sanksi pidana mati tidak berlaku pada dana-dana untuk bencana non alam.
“Di sinilah kita menemukan kelemahan regulasi yang harus diperbaiki, yaitu tentang korupsi dana-dana yang diperuntukkan bagi bencana non-alam, misalnya untuk penanggulangan pandemi Covid-19 seperti yang saat ini kita alami,” kata Sanitiar Burhanuddin ketika memberi pidato kunci dalam seminar bertajuk Efektivitas Penerapan Hukuman Mati terhadap Koruptor Kelas Kakap seperti dikutip Antara, Kamis (25/11/2021).
Jaksa Agung menjelaskan, dasar yuridis dalam menjatuhkan sanksi pidana mati untuk koruptor terdapat di Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merumuskan bahwa dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Jaksa Agung menjelaskan, dasar yuridis dalam menjatuhkan sanksi pidana mati untuk koruptor terdapat di Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merumuskan bahwa dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
“Dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi,” ujar dia.
Baca Juga: Dituntut 7 Tahun, Terdakwa Korupsi Bansos Covid-19 Merasa Tak Salah
Pengertian bencana alam nasional, berdasarkan pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Untuk dapat menjadi bencana alam nasional, maka harus ditetapkan statusnya oleh pemerintah pusat.
Baca Juga: Bantuan Covid-19 Madrasah di Pekalongan Disunat, 7 Orang Jadi Tersangka
“Ke depan perlu dilakukan reformasi norma, yang mana frasa bencana alam nasional cukup dirumuskan menjadi bencana nasional,” ujarnya.
Pada sisi lain, frasa penanggulangan keadaan bahaya, Sanitiar melanjutkan, dapat ditemui dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi, serta dalam Perppu No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, yang mengategorikan tingkat bahaya menjadi keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer, dan keadaan darurat perang.
“Melihat acuan dan penafsiran frasa keadaan bahaya masih menggunakan ketentuan tahun 1959, maka kiranya perlu dibuat regulasi terbaru,” kata Sanitiar.