News
Senin, 5 Desember 2011 - 13:30 WIB

(Laporan Khusus)--Karut-marut Rutan Solo

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Ilustrasi (Dok.SOLOPOS), ANTRE DI RUTAN--Warga antre untuk membesuk sanak saudara mereka yang ditahan di Rumah Tahanan Kelas 1 Solo, beberapa waktu lalu. (JIBI/SOLOPOS/Sunaryo Haryo Bayu)

Pungli tetap lestari

Advertisement

Greek…. Terdengar suara pintu gerbang besi rumah tahanan (Rutan) Kelas I Solo yang dibuka oleh seorang sipir. Suara yang berat dan khas itu selalu muncul begitu jam besuk tahanan Rutan tiba–pukul 10.00 WIB dan kembali terdengar pada pukul 12.30 WIB atau saat jam besuk habis.

Begitu pengunjung masuk ke dalam Rutan, dua sipir yang berjaga di sebuah ruangan mencatat identitas pengunjung. Kartu identitas, bisa KTP atau SIM akan ditahan sebagai jaminan. Selanjutnya, pengunjung wajib membayar Rp 5.000 agar mendapat ganti secarik kertas warna putih untuk dibawa ke bagian pemeriksaan.

Advertisement

Begitu pengunjung masuk ke dalam Rutan, dua sipir yang berjaga di sebuah ruangan mencatat identitas pengunjung. Kartu identitas, bisa KTP atau SIM akan ditahan sebagai jaminan. Selanjutnya, pengunjung wajib membayar Rp 5.000 agar mendapat ganti secarik kertas warna putih untuk dibawa ke bagian pemeriksaan.

Walau di halaman depan Rutan ditempel selembar poster bertuliskan larangan membawa barang-barang pabrikan untuk menanggulangi penyelundupan Narkoba, toh hampir semua pengunjung mengabaikan larangan itu.

Mereka bisa melenggang dengan membawa teh kotak, mi instan dan produk pabrikan lainnya. Hanya barang-barang yang dinilai petugas terdiri dari bahan tajam akan dihilangkan sejumlah bagiannya supaya tidak berbahaya.

Advertisement

Pukul 10.30 WIB, bagian dalam aula mulai penuh sesak dengan pengunjung. Di atas selembar karpet tipis, para tahanan dengan pakaian biru muda dan biru tua muncul satu per satu untuk menemui para keluarga dan sahabat yang menjenguk.

Anak-anak kecil berlari berhamburan menyongsong para ayah atau ibu yang tak pernah menemani hari-hari mereka. Bayi-bayi kecil ditidurkan di karpet yang dilapisi dengan kain hangat agar tidak masuk angin sementara para orangtua mereka duduk bersebelahan dengan wajah-wajah yang serius.

Baru setengah jam berjalan, seorang Napi menghampiri kami. Setelah sekilas membaca secarik kertas putih yang dia genggam, dia pun dengan lantang berkata,” Sumbangan.”

Advertisement

Tanpa banyak cakap, teman saya pun langsung menyerahkan selembar Rp 10.000 kepada Napi itu.
“Uang segitu bisa sampai rampung,” ujarnya puas.

Lain halnya jika pengunjung hanya memberi Rp 5.000, imbuh dia, setengah jam kemudian, Napi suruhan petugas akan datang lagi menghampiri. Dan benarlah kata-kata teman saya karena hingga jam besuk habis, tak ada lagi Napi suruhan yang datang mengganggu.

Isak tangis hingga tawa datang silih berganti. Beberapa di antaranya terekam dalam jepretan kamera yang dibawa petugas Rutan yang akrab disapa Pak Boy. Ya, petugas berwajah ramah itu memang sangat disukai para pengunjung. Bahkan ada beberapa dari mereka yang meminta bantuan Pak Boy untuk dibuatkan foto keluarga dengan imbalan Rp 5.000/foto.

Advertisement

Jarum jam hampir di angka 12 saat oleh-oleh dari rumah mulai dibuka. Dengan lahap sejumlah Napi menikmati masakan rumahan yang dibawa oleh para kerabat. Inilah waktu yang ditunggu-tunggu. Sehari-hari, yang mereka makan seringnya nasi berkutu, dengan lauk tahu, tempe serta telur rebus yang nyaris tanpa garam.

“Lebih bagus makanan babi ketimbang makanan Napi. Mana mau saya kalau tiap hari harus makan nasi lauk kutu yang begitu digigit langsung kriuk,” begitu salah satu Napi bercerita.

Pukul 12.00 WIB lewat, seorang Napi menghampiri teman saya. “Rp 5.000,” ujarnya singkat.
Teman saya mencoba membantah dan dijawab sang Napi begitu aturannya. Akhirnya selembar uang Rp 5.000 direlakannya berpindah tangan.

“Itu uang untuk sipir blok. Setelah jengukan, biasanya memang Napi harus menyetor uang minimal Rp 5.000. Kalau membantah dicari-cari kesalahannya,” ujar dia.

Dengan jumlah tamu sedikitnya 100 orang per hari, imbuh dia, minimal Rp 2 juta uang sumbangan terkumpul. “Entah itu uang mau diapakan ya?”

Apa yang terjadi di pagi itu, menurut Arif (bukan nama sebenarnya) yang kerabatnya masuk Rutan awal tahun ini hanya dirasakan oleh orang-orang biasa alias mereka yang berkantong cekak.

“Besuk sampai setengah satu siang itu cuma cerita. Sebab kalau setoran dari Napi ke pejabat Rutan banyak, jam besukan menjadi tidak terbatas. Sering lho saya ini menjenguk sampai malam hari dan tidak ada yang melarang tuh,” tukasnya.

Bukan hanya waktu berkunjung yang tak terbatas, imbuh dia, para kerabat Napi yang “diistimewakan” juga bebas mengantar makanan hingga 24 jam.

“Saya biasa mengantar makanan untuk saudara. Asal yang di dalam sudah telepon, saya langsung berangkat. Makanan biasanya saya titipkan kepada sipir,” ujarnya. Biasanya untuk telepon itu, imbuh dia, senilai Rp 15.000.

(Tim Espos)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif