News
Minggu, 11 Oktober 2015 - 21:30 WIB

KURS RUPIAH : Rupiah Menguat Tapi Devisa Terkuras, Kebijakan Moneter Tetap Ketat

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi pergerakan kurs rupiah (Dwi Prasetya/JIBI/Bisnis)

Kurs rupiah yang menguat sepanjang pekan lalu tak membuat Bank Indonesia mengubah kebijakan moneter.

Solopos.com, JAKARTA — Bank Indonesia menegaskan belum ada perubahan kebijakan moneter meskipun nilai tukar rupiah “terbang tinggi” sepanjang pekan lalu. Pasalnya, risiko eksternal terhadap pasar keuangan domestik dinilai belum sepenuhnya hilang.

Advertisement

Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) merekam sepekan terakhir rupiah menguat hingga 8,07% setara Rp1.188/dolar AS, dari Rp14.709 (2/10) menjadi Rp13.521 pada penutupan perdagangan pekan lalu, Jumat (9/10/2015). Dari pasar spot, Bloomberg mencatat rupiah ditutup di level Rp13.412/dolar AS.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menekankan otoritas moneter tetap prudent dan menjaga posisi bias ketat (tight bias). Menurutnya, fokus utama bank sentral masih pada stabilitas. Artinya, ruang untuk penurunan suku bunga acuan atau BI Rate belum terbuka.

Advertisement

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menekankan otoritas moneter tetap prudent dan menjaga posisi bias ketat (tight bias). Menurutnya, fokus utama bank sentral masih pada stabilitas. Artinya, ruang untuk penurunan suku bunga acuan atau BI Rate belum terbuka.

Dia menjabarkan, pasar keuangan masih menghadapi risiko penaikan suku bunga the Fed yang diperkirakan mulai pada akhir tahun ini hingga kuartal pertama tahun depan. “Intinya, kami menjaga stabilitas. Karena hanya dengan stabilitas, pertumbuhan ekonomi akan terjadi,” katanya, Jumat (9/11/2015).

Namun demikian, dia mengatakan apresiasi nilai tukar rupiah bisa terus berlanjut karena kepercayaan investor terhadap rupiah sudah mulai pulih. Lebih-lebih, tuturnya, pemerintah dianggap kian serius mengatasi bebagai persoalan struktural.

Advertisement

Dia menuturkan estimasi pengeluaran pemerintah pada Juli-September yang lebih besar ketimbang kuartal pertama dan kedua 2015 akan memberi harapan besar untuk pemulihan ekonomi. Sehingga, lanjutnya, ada energi tambahan bagi rupiah setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan.

Selain itu, Mirza menyebutkan level inflasi yang terus berada pada bentang stabil rendah juga memberi sentimen positif mengenai perbaikan fundamental. Namun demikian, dia memaparkan topik yang masih terus harus dicermati
adalah spekulasi mengenai normalisasi moneter The Federal Reserve dan pelemahan ekonomi China, yang mempengaruhi pelambatan ekspor dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

DBS Bank, bank yang bermarkas di Singapura, mengemukakan penguatan rupiah yang terjadi sepanjang pekan lalu sebagian besar merupakan dampak dari nada dovish dari the Fed dan pelemahan data ekonomi yang tidak diduga dari Negeri Paman Sam.

Advertisement

“Pasar semakin berekspektasi eksekusi normalisasi moneter AS mundur ke awal 2016. Ini yang menjelaskan kenapa rupiah melesat jauh,” ujar DBS dalam riset.

Dalam rilis paket kebijakan moneter edisi II lalu, Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengutarakan hitung-hitungan otoritas moneter atas nilai fundamental rupiah masih jauh dari level yang diperdagangkan di pasar.

“Hitungan kami, secara rata-rata pada kuartal ketiga itu [nilai fundamental] Rp13.300 per dolar AS, dan kuartal empat Rp13.700 per dolar AS,” kata Perry.

Advertisement

Beriringan dengan penguatan tajam nilai tukar rupiah, cadangan devisa Indonesia pada akhir September berkurang US$3,58 miliar dan kian mendekati level psikologis US$100 miliar sekaligus kembali mencetak rekor terendah baru sepanjang 2015.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif