News
Rabu, 2 Oktober 2013 - 18:18 WIB

KUNJUNGAN SIG COMBIBLOC-TEH KOTAK INDONESIA : Tak Ada Lagi Sampah Terbuang Sia-Sia

Redaksi Solopos.com  /  Rini Yustiningsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kemasan asepik Combibloc (Rini Y/JIBI)

Solopos.com, BANGKOK — Apa yang terlintas di benak Anda di mana berakhirnya kemasan aseptik, saat makanan atau minuman dalam kemasan itu telah kita konsumsi?

Kemasan asepik Combibloc (Rini Y/JIBI)

Advertisement

Tempat pembuangan sampah, itu menjadi jawaban lazim. Ini tak berlaku di Fiber Pattana, pabrik pengolahan kertas daur ulang yang berada di kawasan Bangsaothong, Samutprakarn, Thailand.

Pekerja Fiber Pattana melakukan proses pengepresan bahan untuk atap dan dinding kedap suara (eco board) hasil olahan sampah kemasan aseptik. (Rini Y/JIBI/Solopos)

Advertisement

Pekerja Fiber Pattana melakukan proses pengepresan bahan untuk atap dan dinding kedap suara (eco board) hasil olahan sampah kemasan aseptik. (Rini Y/JIBI/Solopos)

Solopos.com menjadi bagian dalam Media Trip SIG Combibloc-Teh Kotak Indonesia Kamis-Sabtu (19-21/9) lalu di Thailand. Kegiatan ini masih satu rangkaian program Thanks To Nature Teh Kotak Indonesia. Salah satu lokasi yang dikunjungi Fiber Pattana Thailand.

Pabrik yang didirikan tahun 1996 dan dipimpin oleh Trivichak Yibintham ini menjadikan sampah kemasan aseptik menjadi produk aneka rupa. Perabotan menarik, kursi hingga meja, suvenir dari buku diaryhingga pigura foto, bahkan atap bangunan, dinding peredam suara hingga perahu pun berasal dari sampah kemasan aseptik.

Advertisement

Tanpa sokongan pemerintah Pattana mampu menggerakkan semangat warga Thailand untuk mengumpulkan sampah kemasan. Setiap hari, Pattana membutuhkan 50 ton sampah kemasan. Dari jumlah kebutuhan itu baru terpenuhi sekitar 25 ton per hari.

Sampah-sampah itu dikumpulkan dari collection center atau pengepul yang tersebar di beberapa wilayah. Selain pengepul, Pattana juga membangun konsorsium bersama produsen kemasan aseptik, salah satunya SIG Combibloc.

Marketing Communication Executive SIG Combiblock Asia-Pacific, Areerat Wongsa-oun; Managing Director Fiber Pattana, Trivichak Yibyintham dan Regional Coount Manager SIG Combibloc Ronny Hendrawan (kiri-kanan) menjelaskan produksi sampah kemasan aseptik di Fiber Pattana, Samutprakarn, Thailand, Jumat (20/9/2013). (Rini Y/JIBI/Solopos)

Advertisement

Bagaimana collection center mendapatkan sampah kemasan? Trivichak menjelaskan pengepul mendapatkan sampah-sampah itu di pasar, sekolah, rumah sakit, rumah tangga, kuil maupun pabrik khusus untuk kemasan yang tak layak pakai. “Setiap mereka [pengepul] memiliki 15 ton, setor ke kami. Tapi itu tidak bisa setiap hari, padahal kebutuhan kami masih banyak,’ kata pria ramah berkaca mata ini kepada rombongan Media Trip SIG Combibloc-Ultra Jaya.

Masih minimnya kesadaran masyarakat untuk memilah sampah kemasan menjadi salah satu alasan kebutuhan Pattana tak bisa terpenuhi secara keseluruhan. “Tidak semua sampah kemasan aseptik bisa terpakai. Syaratnya sebenarnya mudah, agar sampah kemasan bisa didaur ulang yakni dilipat, dibuang, dipisah. Jangan tercampur dengan sampah lain,” sambung Regional Account Manager SIG Combibloc Indonesia, Ronny Hendrawan.

Indonesia Kaya Potensi

Advertisement

Kondisi tersebut juga terjadi di Indonesia. Di Indonesia dari 4 miliar pieces kemasan aseptik yang beredar di masyarakat, hanya 1% yang terserap ke industri pengolahan sampah daur ulang. “Itu pun pabrik daur ulang mengambil sampah dari produsen, bukan masyarakat atau end user,” sambung Roni.

Non Dairy Category Manager PT Ultrajaya Indonesia, Adi Mulyawan, menambah sampah kemasan aseptik di Indonesia belum terolah, karena sampah kemasan itu belum memenuhi standar, yakni bercampur dengan sampah lain.

Pekerja Fiber Pattana menata karton hasil daur ulang dari sampah kemasan aseptik. (Rini Y/JIBI/Solopos)

Melalui program Thanks to Nature yang diusung Teh Kotak Indonesia, produsen minuman kemasan aseptik ini mengajak masyarakat lebih tertib dan menghargai alam. “Paling gampang saja, kami mengajak masyarakat membuang kemasan aseptik ini tidak sembarangan dan memisahkan. Tapi memang budaya di Indonesia masih sulit.”

Gulungan karton yang digunakan untuk membuat kemasan aseptik di SIG Combibloc Thailand (Istimewa)

Di Pattana, sampah kemasan aseptik  diolah lebih lanjut dengan tahapan dijadikan bubur kertas, dicetak menjadi kertas hingga akhirnya menjadi aneka suvenir. Sementara, sisa kandungan plastik dan alumunium foil yang terurai dari bubur kertas itu, diolah kembali dan dicetak hingga menjadi eco board (pelapis dinding kedap suara) maupun atap rumah.

Uniknya, para pengepul yang telah menyetorkan sampah-sampah kemasan itu tak mendapat bayaran bath dari Pattana. “Mereka setor sampah, kami membayarnya dengan kertas atau karton hasil daur ulang dari sampah yang mereka setor,” ujar Trivichak.

Demikian halnya dengan pemasaran produk, Trivichak mengaku pihaknya tak pusing memikirkan pemasaran produk daur ulang sampah kemasan itu, karena semua produk “dikembalikan” lagi ke pengepul. “Memang untuk produk-produk daur ulang harganya lebih mahal, jadi wajar jika konsumen kurang meminatinya,” keluhnya.

Beragam produk suvenir, pigura foto, tisu, kertas, buku yang diolah dari sampah kemasan aseptik. (Rini Y/JIBI/Solopos)

Kurang diminatinya produk-produk daur ulang, selain karena lebih mahal, ujar Forest Stewardhip Council (FSC) Indonesia Representative, Hartono Prabowo, juga disebabnya masih minimnya kesadaraan lingkungan. Padahal setiap 1.000 kg kertas karton daur ulang, mengurangi penebangan 24 pohon di hutan yang berarti menyerap zat karbondioksida hingga 112 kg!

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif