News
Minggu, 18 November 2012 - 21:44 WIB

KRISIS GAZA: Warga Hanya Bisa Bersyukur Masih Bisa Hidup

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Anak-anak dan remaja Katolik Palestina di Beit Jala, dekat Bethlehem, ambil bagian dalam misa khusus untuk mendoakan warga dan para korban serangan di wilayah Gaza, Minggu (18/11/2012). (JIBI/SOLOPOS/Reuters)

Seorang perempuan Palestina duduk di atas reruntuhan tempat tinggalnya yang menjadi korban serangan udara israel di Rafah, wilayah selatan Gaza, Minggu (18/112012). (JIBI/SOLOPOS/Reuters)

Abu Shadi, seorang warga Palestina di wilayah Gaza, melihat kondisi tanah pertaniannya yang ikut terkena serangan udara Israel Jumat lalu. Tak banyak ekspresi emosi terlihat di wajahnya.
Advertisement

“Kami kaget juga dengan skala serangan dan ledakannya,” katanya seraya berdiri di samping kawah yang terbentuk akibat ledakan bom Israel. “Serangan itu merusak semua tanaman anggur, peralatan dan tanah. Kami kehilangan banyak sekali. Tapi alhamdulillah kami masih hidup,” ujarnya.

Sikap fatalis alias pasrah bulat-bulat pada nasib sepertinya makin kuat terlihat pada warga Gaza. Apa pun yang mereka alami kali ini akibat serangan udara Israel, yang merupakan reaksi negeri Zionis itu atas serangan roket yang dilancarkan kelompok militan Palestina, sudah pernah mereka alami sebelumnya dan mereka tahu, krisis seperti ini takkan segera berakhir.

Gaza sudah pernah merasakan beratnya penderitaan itu. Kali terakhir pecah perang dahsyat di Gaza, saat di akhir 2008 hingga awal 2009israel selama tiga pekan menggempur wilayah mungil itu dari udara dan darat, lebih dari 1.400 warga Palestina tewas, sebagian besar warga sipil dan di antaranya banyak pula anak-anak. Di pihak Israel 13 orang tewas. Saat itu banyak wilayah kota diratakan dengan tanah oleh buldoser-buldoser militer Israel untuk menjadi pangkalan tank dan tentara. Warga setempat pun terpaksa tidur dan memasak di sela-sela reruntuhan bangunan.

Advertisement

Anak-anak dan remaja Katolik Palestina di Beit Jala, dekat Bethlehem, ambil bagian dalam misa khusus untuk mendoakan warga dan para korban serangan di wilayah Gaza, Minggu (18/11/2012). (JIBI/SOLOPOS/Reuters)

Bagaimana pun, serangan udara berkelanjutan Israel yang belum jelas kapan berakhirnya, dan adanya kemungkinan serangan darat, tetap membuat warga ketir-ketir. “Saat ini semua dimulai kami sudah membeli bahan makanan yang cukup buat keluarga kami selama sepekan. Tapi bahan makanan pasti akan menipis atau harganya makin mahal karena langka sehingga tak terbeli lagi. Tak ada yang bisa memastikan kapan ini akan berakhir. Jadi apa yang bisa kami lakukan?” keluh Ahid Fadl, 18.

Masa damai pun selama ini tak berarti banyak bagi warga Jalur Gaza, salah satu wilayah permukiman terpadat di dunia. 80 persen warga hidup di bawah garis kemiskinan dan menurut riset PBB upah riil terus merosot hingga 10 persen sejak 2005. PBB juga memperkirakan, jika kondisi krisis seperti ini terus terjadi, maka pada 2020 wilayah ini sudah tergolong “tak bisa ditinggali.” Hanya pembangunan ekonomi dan infrastruktur berskala sangat besar yang bisa menyelamatkan bagian wilayah negara Palestina ini dari kehancuran.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif