Redaksi Solopos.com / R. Bambang Aris Sasangka | SOLOPOS.com
Prancis, yang menarik pasukan terakhirnya dari Afghanistan Desember, melancarkan serangan udara sejak Jumat lalu untuk mendukung tentara Mali dalam satu operasi terhadap gerilyawan Islam dan mengirim pasukan ke negara Afrika Barat itu. Taliban dalam satu pernyataan di lamannya mengatakan bahwa Prancis harus mengambil pelajaran dari perang-perang “yang gagal” di Afghanistan dan Irak.
“Ketika Prancis mulai proses penarikan pasukannya dari Afghanistan dalam waktu belakangan ini tampaknya karena pemerintah Prancis ingin memperluas sikap anti-perangnya ke wilayah-wilayah lain dunia,” kata juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid. “Akan tetapi Prancis melanggar komitmennya bagi perdamaian dengan melanggar hukum mengirim tentaranya ke negara Afrika utara Mali.
Taliban melancarkan perang 11 tahun terhadap pasukan NATO pimpinan Amerika Serikat di Afghanistan dan dan tidak dapat dikalahkan sementara pasukan asing bersiap-siap mundur akhir tahun depan. “Prancis melancarkan perang terhadap negara Muslim Mali tanpa memiliki jurisdiksi sah,” kata Taliban, mendesak pemerintah-pemerintah dan organisasi-organisasi internasional menghentikan “pelanggaran-pelangaran hukum seperti itu”. Intervensi itu “tidak hanya malapetaka bagi Mali tetapi juga Prancis”, kata pernyataan itu.
Pasukan pemberontak telah bersumpah akan melakukan balas dendam terhadap Prancis. “Kami akan menyerang di jantung Prancis,” kata Abou Dardar dari AQIM, organisasi cabang Al Qaeda di wilayah Afrika Utara.
Prancis mendapat dukungan PBB bagi aksi militernya di Mali dan memperkuat pasukan daratnya dengan satuan lapis baja setelah mengusir gerilyawan Islam dari pangkalan-pangkalannya di utara dengan serangan-serangan udara. Satu sidang Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara mengenai Mali memutuskan dengan suara bulat “memahami dan mendukung” intervensi militer, kata Duta Besar Prancis untuk PBB Gerard Araud kepada wartawan Senin malam.