News
Jumat, 11 Juni 2021 - 02:20 WIB

Komnas Perempuan Larang Korban Pelecehan Seksual Digugat Pidana & Perdata

Anissa Putri  /  Meuthia N. Nafasya  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi korban pelecehan seksual (JIBI/Solopos/Dok.)

Solopos.com, JAKARTA — Mayoritas korban pelecehan seksual memiliki rasa takut dan trauma yang mendalam sehingga lebih memilih bungkam dalam waktu yang lama. Bahkan, tak jarang korban mendapat serangan balik dari pelaku dan digugat. Karena itulah, Komnas Perempuan melarang korban pelecehan seksual digugat pidana ataupun perdata.

Korban yang pernah mengalami pelecehan seksual mayoritas akan lebih memilih diam saat kejadian tersebut menimpanya. Banyak juga korban yang kebingungan untuk mencari tempat mengadu, rendah diri, malu, takut, dikucilkan dan menyalahkan diri sendiri.

Advertisement

Anggota Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengungkapkan bahwa pengungkapan kepada publik bukanlah hal mudah bagi korban, dan dalam pengalaman penanganan kasus kekerasan seksual banyak korban memilih bungkam. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi sikap perempuan korban untuk bersuara mengungkapkan pengalaman pelecehan seksual yang dialaminya. Pengungkapan ini bukanlah hal mudah bagi korban, dan dalam pengalaman penanganan kasus kekerasan seksual banyak korban memilih bungkam.

Baca Juga: Terima Pegawai KPK Gagal TWK, Begini Respons MUI...

Advertisement

Baca Juga: Terima Pegawai KPK Gagal TWK, Begini Respons MUI...

"Pengungkapan ini membutuhkan keberanian untuk mengingat kembali pengalaman tidak menyenangkan/traumatis juga potensi untuk menghadapi serangan balik dalam bentuk mempersalahkan korban atau tidak mempercayai bahwa ia mengalami pelecehan seksual," ungkapnya saat dihubungi, Kamis (10/6/2021).

Akhir-akhir ini, ada beberapa kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang disampai melalui media sosial. Kini media sosial menjadi wadah bagi korban untuk menuangkan curahan hati hingga mencari pertolongan. Namun, tidak bisa dipungkiri, bahwa speak up di media sosial berpotensi mendapatkan 'serangan balik' dari pelaku. Siti mengungkapkan bisa saja korban yang mengungkap disudutkan, menuai komentar, dipersalahkan.

Advertisement

"Hukum kita tidak memberikan perlindungan untuk itu [korban pelecehan seksual]. Oleh karena itu, Komnas Perempuan mengusulkan agar korban kekerasan seksual tidak boleh diadukan atau digugat secara pidana atau perdata akibat pengaduan yang dilakukannya," ungkapnya.

Baca Juga: Perhimpunan Profesi Hukum Kristiani Soroti TWK KPK

Malangnya, untuk kasus pelecehan seksual, hukum di Indonesia tidak dapat berjalan apabila tidak ada bukti yang kuat untuk membantu menyelesaikan kasus tersebut. Apalagi pelecehan seksual yang menimpa korban sudah terjadi tiga tahun yang silam.

Advertisement

Hal ini akan menjadi bumerang bagi korban karena pada saat kejadian, korban tidak langsung melaporkan kepada pihak berwajib. "Kalau benar yang bersangkutan korban pelecehan, lapor polisi sehingga bukti-bukti masih ada. Kalau sudah tiga tahun dia tidak buktikan maka akan menjadi bumerang," kata Chairul Huda, Pakar Hukum Pidana Universitas Muhamadiyyah Jakarta.

Chairul menambahkan apabila korban tidak membuktikan atas kejadian pelecehan seksual yang menimpanya, berdasarkan Pasal 314 KUHP hal ini dapat menjadi pencemaran nama baik. "Hal ini telah diatur dalam pasal 314 bahwa kalau yang dituduhkan tidak ada tindak pidana, tidak bisa membuktikannya, maka akan jadi dasar pencemaran nama baik atau fitnah," ujar Chairul Huda.

KLIK dan LIKE untuk lebih banyak berita Solopos

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif