News
Minggu, 19 Maret 2023 - 13:32 WIB

Ketum Ikatani UNS Optimistis Indonesia Jadi Pemimpin Dunia di Sektor Pangan

Bc  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ketua Umum Ikatan Alumni Pertanian (Ikatani) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo 2023-2027, Dina Hidayana. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Ketua Umum Ikatan Alumni Pertanian (Ikatani) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo 2023-2027, Dina Hidayana, menyampaikan sudah saatnya Indonesia berani menempatkan kebijakan pangan sebagai prioritas utama dan pertama dalam pembangunan nasional.

Hal tersebut diutarakan Dina dalam Dies Natalis ke-47 UNS Solo, Musyawarah Nasional, dan Reuni Fakultas Pertanian UNS, pada Sabtu (18/3/2023).

Advertisement

Menurut Doktor Ilmu Pertahanan yang mengkaji keterkaitan pangan dan pertahanan negara itu, kebijakan pangan sebagai prioritas utama bukan sekadar kepentingan merespons ancaman krisis pangan yang telah dilontarkan beberapa pihak belakangan ini.

Namun lebih dari itu, jika kebijakan pangan tak menjadi prioritas utama Indonesia akan kehilangan jati diri sebagai negara agraris dan produsen pangan yang cukup disegani. Sebutan Indonesia sebagai negara eksportir dikhawatirkan akan atau bahkan telah bergeser menjadi salah satu importir (pangan) terbesar di dunia.

“Hal ini merupakan hal serius dan fundamental yang harus segera dibenahi sejak sekarang, tidak bisa ditunda lagi,” tegas Dina dalam rilis yang diterima Solopos.com.

Advertisement

Selaras dengan hasil riset disertasi Dina yang berjudul “Optimasi Kebijakan Sektor Pangan dalam Memperkokoh Sektor Pertahanan Negara” diketahui bahwa pangan bukan sekadar pelepas lapar dan dahaga, namun berfungsi geoekonomi dan geopolitik yang memperkuat pertahanan suatu negara dalam jangka pendek, menengah maupun panjang.

Dina merupakan perempuan satu-satunya penerima beasiswa Doktoral Universitas Pertahanan RI TA 2020/2021 melalui teknik mixmethods, salah satunya Computable General Equilibrium (CGE) di bawah bimbingan Promotor Prof Purnomo Yusgiantoro.

Dia menemukan proyeksi bencana krisis ekstrem domestik 32 tahunan yang akan kembali terulang pada 2030, apabila pemerintah tidak serius membenahi sektor pangan sejak sekarang.

Diketahui tahun 1966 masa pemerintahan Sukarno, Indonesia mengalami hiperinflasi tertinggi sepanjang yakni lebih dari 600%, kemudian tahun 1998 berulang krisis serupa meski tidak sebesar masa Orde Lama, yakni melampaui 70%.

Advertisement

“Melalui simulasi pesimis, jika sektor pangan mengalami degradasi sekitar 10% maka laju inflasi diprediksi akan mencapai 170% di tahun 2030 pada masa puncak bonus demografi,” ujar Dina.

Dina yang juga merupakan Ketua Depinas Soksi ini sepakat bahwa pengabaian terhadap prioritas pangan domestik dan penguatan petani akan mendorong suatu negara pada ketergantungan akut pada negara atau bangsa lain.

“Hal ini bukan saja akan merusak sendi ekonomi, namun tatanan struktural secara umum di semua sektor kehidupan,” ujarnya.

Pada akhirnya, menurut Dina, negara tidak akan pernah bisa mengklaim dirinya maju dan hebat, apabila tidak berdaya atas tata kelola pangan yang berbasiskan daya dukung dan kearifan lokal.

Advertisement

“Kekuatan sumber daya nasional harus menjadi tulang punggung utama dalam pergerakan kemajuan bangsa, sehingga kita benar-benar berdaulat atas kemerdekaan negeri ini,” ujar Dina.

Lebih lanjut, dalam pengalamannya sebagai aktivis politik dan sosial, Dina berpendapat tidak mustahil membangun optimisme di tengah peluang dan tantangan karena Indonesia memiliki dua musim dengan keluasan wilayah memadai, SDM mumpuni, kekayaan biodiversitas, jalur maritim strategis, dan berada di lintas khatulistiwa.

Menurutnya kekuatan ini bisa menjadi daya tawar yang mampu meningkatkan efek gentar (detterent effect) bagi negara-negara lain, khususnya sub tropis yang memiliki banyak kendala dalam pengusahaan pangan.

Perlu Percaya Diri

Kajian Dina menunjukkan bahwa pada dasarnya Indonesia hanya perlu percaya diri untuk mampu bersaing dan menjadi pemain penting dalam pertarungan hegemoni dunia, amanah konstitusi sebagai pondasinya. Menurutnya, Indonesia dalam konteks geopolitik, memerlukan kepiawaian untuk menjadi Pemimpin Dunia di sektor pangan.

Advertisement

“Keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki Indonesia, perlu diakselerasi dengan penempatan kebijakan pangan dalam posisi pertama, utama dan tidak tergantikan (first elementary and permanently policy),” ujarnya.

Menurutnya, sektor pangan harus berada di kelas tertinggi dalam tata kelola negara, artinya keberpihakan serius pemerintah terhadap sektor ini akan menentukan eksistensi bangsa Indonesia di masa yang akan datang.

“Tentu saja ini berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan kontinuitas pangan tersebut, baik sebagai bahan mentah ataupun siap makan,” jelas Dina lebih lanjut.

Berkaitan itu, Dina memperlihatkan perbedaan opsi-opsi perlakuan kebijakan pangan yang berimplikasi terhadap makroekonomi, seperti jumlah dan kualitas SDM sektor pangan, tingkat produktivitas, tarif impor ataupun kombinasi ketiganya.

Pilihan rasional untuk meningkatkan atau menurunkan opsi-opsi tersebut baik secara parsial atau kombinasi mengandung konsekuensi yang berbeda. Peningkatan produktivitas pangan 10%, misalnya, mampu menekan gini ratio, mengurangi kesenjangan rural-urban dan menghambat laju kemiskinan. Sementara opsi penguatan SDM sektor pangan mampu menekan laju inflasi dan tingkat pengangguran. Kombinasi multishock ditengarai memberi dampak yang paling signifikan terhadap perubahan.

“Maka, ancaman krisis pangan, kontemplasi era pandemi dan konflik Rusia-Ukraina telah mengingatkan seluruh pihak bahwa sektor pangan harus menjadi prioritas yang mendesak untuk segera menjadi bagian yang utama dan terpenting dalam kebijakan keluarga, masyarakat dan negara,” ujarnya.

Advertisement

Ketersediaan pangan menentukan nasib generasi masa depan. Pemerintah Indonesia perlu lebih percaya diri dengan mengoptimalkan seluruh kemampuannya untuk menggerakkan sektor ini sebagai sektor andalan dan terdepan.

“Tidak ada kata terlambat, kita harus mulai pembenahan mendasar sektor pangan sejak sekarang jika tidak ingin terus dicengkeram asing ataupun larut dalam jebakan neoliberalisme yang berpotensi mengebiri kedigdayaan bangsa yang pernah berjaya sebagai produsen pangan termasyur masa lampau,” ujarnya.

“Kolaborasi astha helix, salah satunya peran strategis akademisi, perlu dilakukan secara sistemik melalui kepemimpinan yang visioner,” imbuh Dina yang juga merupakan jebolan Magister Resolusi Konflik UGM ini.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif