News
Selasa, 25 Oktober 2011 - 10:43 WIB

Kemarau panjang, produktivitas petani Kakao Patuk menurun drastis

Redaksi Solopos.com  /  Tutut Indrawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

ilustrasi (dok JIBI/BISNIS)

Patuk (Solopos.com)–Warga Dusun Trukan, Desa Nglegi, Kecamatan Patuk,  Gunung Kidul, yang sebagian besar berprofesi sebagai petani Kakao mengaku di musim panen tahun ini mengalami penurunan produktifitas hampir 50 persen.

Advertisement

Hujan yang tidak pernah mengguyur sejak beberapa bulan lalu menjadi kendala utama penurunan produktifitas mereka.

Lukas, 40, salah satu petani Kakao kepada Harian Jogja mengungkapkan pada dasarnya perawatan Kakao miliknya relatif mudah lantaran semua perawatan hanya menggunakan bahan organik. Akan tetapi, Kakao sangat membutuhkan sekali debet air yang cukup untuk tumbuh serta berkembang.

Hujan yang tak tidak pernah turun sejak beberapa bulan lalu itu pun berimbas kepada hasil panen Kakao miliknya.

Advertisement

“Kalau kena kemarau terus membuat Kakao menjadi kering menjadi menguning yang berujung membusuk. Sudah begitu ukuran Kakao jadi kecil karena tidak mau mengembang,” terang Petani Kakao yang memiliki ladang seluas 1/4 hektar itu, Selasa (25/10).

Alhasil, produktifitas pun menjadi menurun. Dia yang sebelumnya bisa menghasilkan Kakao sebanyak 5 Kg dalam periode waktu 2-3 bulan kini hanya bisa memproduksi 2 Kg saja.

Kondisi tersebut juga dirasakan Tukijo, 80, Kakek yang sejak 20 tahun lalu itu menjadi pengepul merasakan dampak penurunan produktifitas para petani.

Advertisement

Pasalnya, dia yang biasa mengirim hingga 3 kwintal Kakao kepada salah satu perusahaan di Jawa Timur, maupun di Semarang, Jawa tengah. Kini hanya sanggup mensuplali 1,5 Kwintal saja.

” Sejak kemarau pada bulan Juni lalu kami tidak sanggup memenuhi pesanan, karena Kakao banyak yang mati,” ujarnya.

Kondisi itu makin diperparah adanya penurunan harga Kakao. Setelah beberapa waktu sempat berjaya di kisaran Rp 19.000-20.000 untuk per kilo Kakao, kini hanya menjadi Rp 17.000 saja. Menurut sejumlah petani,  penurunan harga tersebut dipicu oleh nilai rupiah terhadap dollar.

(JIBI/Harjo/ian)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif