Kebijakan ekonomi di Indonesia perlu memperhatikan masalah kependudukan
Harianjogja.com, SLEMAN – Perekonomian dunia berhadapan dengan masalah pelemahan ekonomi global yang bersifat multidimensional. Pelemahan ekonomi global ini berdampak pada perekonomian kawasan ASEAN termasuk Indonesia.
Pelemahan ekonomi global juga berdampak terhadap pasar mata uang. Mata uang rupiah, cenderung terdepresiasi terhadap mata uang dolar Amerika. Depresiasi mata uang nasional akan berdampak pada perekonomian nasional bahkan kinerja ekspor nasional diperkirakan akan mengalami pelambatan.
Hal ini dikatakan Prof. Dr. Hal Hill dari Crawford School of Public Policy, Australian National University saat mengisi seminar di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM. Seminar ini mengangkat tema “Pembangunan Ekonomi dan Kependudukan di Indonesia: Prospek dan Tantangannya Pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”.
Penting bagi Indonesia terus mengkaji dampak dari pelemahan ekonomi global bagi Indonesia, termasuk kesiapan Indonesia untuk menghadapi era baru Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2016.
“Sebagai negara dengan penduduk terbesar keempat dunia, Indonesia perlu merumuskan kebijakan dan strategi yang tepat. Di bidang kependudukan harus ada perombakan agar dapat bersaing dengan negara-negara lain,” jelas Hill di PSKK UGM, Kamis (17/9/2015).
Pembangunan dalam bidang kependudukan merupakan salah satu isu strategis nasional karena penduduk merupakan aset penting pembangunan yang harus didayagunakan. Penduduk bisa menjadi beban pembangunan ketika kualitasnya tidak bisa dioptimalkan.
“Perencanaan pembangunan berbasis kependudukan merupakan kebutuhan mendasar bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian serius untuk merumuskan strategi pembangunan yang mampu menyelesaikan berbagai isu kependudukan,” kata Hill.
Narasumber lain Prof. Dr. Chris Manning dari The Arndt-Corden Department of Economics, Australian National University mengatakan ada beberapa hal yang dapat dipelajari oleh negara-negara berkembang dari ASEAN. Pertama, kemampuan untuk mengelola industrialisasi yang berorientasi pada ekspor melalui investasi asing secara langsung
“Kedua, mampu mempertahankan manajemen ekonomi makro yang baik. Ketiga, memiliki ketahanan serta mampu pulih dari krisis yang mendalam. Keempat, mampu mengelola masa transisi dari bentuk pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis dengan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi,” jelas Chris.