News
Selasa, 19 Januari 2016 - 18:00 WIB

KASUS PELINDO II : Tolak Beberkan Alat Bukti Kasus RJ Lino, KPK Dituding Hina Pengadilan

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Harbour mobile crane (HMC) milik Pelindo II disegel penyidik Bareskrim Polri, Jumat (28/8/2015) siang. (Ahmad Mabrori/JIBI/Bisnis)

Kasus Pelindo II, yaitu pengadaan Quay Container Crane, yang menyeret RJ Lino, tengah dipertaruhkan di praperadilan.

Solopos.com, JAKARTA — Pengamat hukum dari Universitas Indonesia Teddy Anggoro menilai jawaban Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perihal ketidakmauan untuk membuka bukti dasar penetapan mantan Dirut Pelindo II RJ Lino sebagai tersangka dalam sidang praperadilan yang dipimpin oleh Hakim Udjianti adalah bentuk penghinaan kepada pengadilan.

Advertisement

“Praperadilan berwenang membuka alat bukti. Jika penyidik tidak membuka dengan alasan riskan hal ini merupakan bentuk ketidakpercayaan kepada hakim dan merupakan bentuk contemp of court atau penghinaan kepada pengadilan,” ujar Teddy dalam siaran pers, Selasa (19/1/2016).

Dalam hal ini, katanya, KPK kontradiktif karena di satu sisi menyebut bahwa bukti dikumpulkan sejak penyelidikan. Tapi di sisi lain menyebutkan hakim tidak berwenang menghentikan perkara sekalipun alat bukti belum lengkap.

Advertisement

Dalam hal ini, katanya, KPK kontradiktif karena di satu sisi menyebut bahwa bukti dikumpulkan sejak penyelidikan. Tapi di sisi lain menyebutkan hakim tidak berwenang menghentikan perkara sekalipun alat bukti belum lengkap.

Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK telah melanggar hak azazi manusia untuk mendapatkan due process of law dalam penegakan hukum. Menurut dia, soal praperadilan sudah jelas dipaparkan dalam UU No. 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memuat prinsip-prinsip/ asas hukum. Baca juga: RJ Lino Minta Alat Bukti, KPK: Ini Praperadilan, Bukan Pengadilan.

Beberapa prinsip itu di antaranya prinsip legalitas, prinsip keseimbangan, asas praduga tidak bersalah, prinsip pembatasan penahan, asas ganti rugi dan rehabilitasi, penggabungan pidana dan tuntutan ganti rugi, asas unifikasi, prinsip diferensiasi fungsional, prinsip saling koordinasi, asas keadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, dan prinsip peradilan terbuka untuk umum.

Advertisement

”Esensi dari praperadilan itu untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, agar tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang, benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum, bukan merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum,” tegasnya.

Karena itu, tujuan praperadilan adalah meletakkan hak dan kewajiban yang sama antara yang memeriksa dan yang diperiksa. Selain itu, menempatkan tersangka bukan sebagai objek yang diperiksa, penerapan asas aqusatoir dalam hukum acara pidana, menjamin perlindungan hukum, dan kepentingan asasi. Hukum memberi sarana dan ruang untuk menuntut hak-hak yang dikebiri melalui praperadilan.

Teddy menilai kegagapan KPK di depan sidang pra peradilan dengan termohon mantan Dirut PT Pelindo II RJ Lino hanya menegaskan ketidaksiapan lembaga anti rasuah tersebut dalam penetapan status tersangka pada kasus pengadaan 3 (tiga) unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) 2010.

Advertisement

Dia mencatat pada awal Oktober 2015 Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johan Budi SP, kepada media mengatakan kasus dugaan korupsi di PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) masih dalam tahap penyelidikan. Johan mengakui KPK mengalami kendala dalam penyelidikan kasus tersebut.

Padahal kasus ini telah dimulai ditindaklanjuti KPK Surat Perintah Penyelidikan Nomor Sprin Lidik 12/01/03/2014 tertanggal 5 Maret 2014 untuk melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan 3 (tiga) unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) 2010.

“Bayangkan sejak 2014! KPK sudah minta keterangan pada 18 orang termasuk RJ Lino, ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang ternyata sampai awal Oktober 2015, KPK belum menemukan dua bukti. Lalu kenapa bisa dalam waktu singkat, bahkan di akhir masa jabatan diteken penetapan status tersangka?” ujarnya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif