Solopos.com, JAKARTA–Terpidana kasus korupsi Wisma Atlet Muhammad Nazaruddin bersikukuh menyatakan ada penyimpangan angggaran dalam pengadaan E-KTP yang melibatkan peran serta Mendagri dan anggota DPR Setyo Novanto, meskipun tuduhan itu sudah dibantah keduanya.
Pernyataan itu, disampaikan oleh Nazaruddin yang hari ini datang ke gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan penyidik KPK.
Ketika tiba, dirinya langsung mengatakan jika bantahan yang disampaikan Mendagri tidak benar. “Saya bilang Mendagri telah melakukan pembohongan publik,” ujar Nazaruddin.
Alasannya, katanya, pembelaan yang dilakukan Mendagri sama sekali tidak benar dengan faktanya. Dia menjelaskan, misalnya saja soal pembahasan anggaram E-KTP yang diakui Mendagri mulai dilakukan pada 2011. Padahal, pembahasan sudah dilakukan sejak Oktober 2010, dengan melibatkan dirinya juga.
Alasannya, katanya, pembelaan yang dilakukan Mendagri sama sekali tidak benar dengan faktanya. Dia menjelaskan, misalnya saja soal pembahasan anggaram E-KTP yang diakui Mendagri mulai dilakukan pada 2011. Padahal, pembahasan sudah dilakukan sejak Oktober 2010, dengan melibatkan dirinya juga.
Selain itu, pernyataan Mendagri yang mengatakan rapat dipimpin oleh Aria Azhar, tidak benar. Karena sebenarnya pembahasan itu dilakukan bersama Badan Anggaran DPR dan dipimpin Melchias Markus Mekeng.
Dia juga kembali menegaskan dalam kasus senilai Rp5,9 triliun itu, ada mark up senilai Rp2.5 triliun, dengan upaya merekayasa proyek dengan anggaran fiktif.
Kasus dugaan korupsi E-KTP merupakan salah satu dari 12 kasus yang dilaporkan Nazar ke KPK, yang disebut-sebut melibatkan 15 anggota DPR.
Dalam pemeriksaan hari ini, Nazar dipanggil sebagai saksi dalam kasus gratifikasi Hambalang, dengan tersangka Anas Urbaningrum.
Kepala Bagian Informasi dan Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha mengatakan ini bukan pemanggilan pertama Nazar dalam kasus tersebut.
Namun, justru Nazar tidak mau bicara banyak mengenai pemeriksaan dirinya dalam kasus itu.
Dalam kasus tersebut, KPK juga menjadwalkan agenda pemeriksaan terhadap Lukman Hidayat, Kepala Divisi III PT Adhi Karya, dan Indrjaya Manopol, mantan Direktur Operasional I PT Adhi Karya.
Dalam kasus gratifikasi, Anas disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.