News
Jumat, 23 Oktober 2015 - 19:30 WIB

KABUT ASAP : 18 Tahun Salah Kelola Gambut, Ini yang Harus Dilakukan Pemerintah

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Foto udara kebakaran lahan di kawasan Kabupaten Banyuasin, Sumsel, Selasa (20/10/2015). Berdasar pantauan satelit Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menemukan 654 titik panas berada di Sumatra Selatan. (JIBI/Solopos/Antara/Nova Wahyudi)

Kabut asap makin pekat. Presiden Jokowi meminta masukan LSM, termasuk soal pemulihan lahan gambut.

Solopos.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil sejumlah lembaga pemerhati lingkungan ke Istana untuk mendapatkan masukan terkait penanganan kebakaran lahan dan hutan serta kabut asap di Sumatera-Kalimantan yang telah meluas ke Sulawesi dan Papua.

Advertisement

Seusai pertemuan dengan Presiden Jokowi, Kepala Departemen Advokasi Walhi, Nur Hidayati, mengatakan kebakaran lahan dan hutan yang terjadi selama 18 tahun berturut-turut diakibatkan oleh salah kelola sumber daya Indonesia selama puluhan tahun. Akibatnya, terjadi akumulasi kerusakan lingkungan secara sistematis dari rezim ke rezim.

“Kami apresiasi setelah 18 tahun, kami melihat tindakan yang cukup konkret dari pemerintahan saat ini,” ujar Nur Hidayati di Kantor Presiden, Jumat (23/10/2015).

Kendati demikian, Walhi dan sejumlah LSM lingkungan lainnya menilai perlu upaya yang lebih sistematis dalam menanggulangi kebakaran lahan/hutan dan dampak kabut asap di sejumlah daerah di Tanah Air. Upaya sistematis tersebut dibagi ke dalam tiga fase, yakni fase darurat, fase jangka menengah, dan jangka panjang.

Advertisement

Pada fase darurat, LSM mendesak agar pemerintah segera melakukan evakuasi masyarakat kelompok rentan, yakni balita, anak kecil, dan ibu hamil. Evakuasi memanfaatkan sarana dan gedung pemerintahan daerah.

Untuk jangka menengah, tuturnya, terkait penegakan hukum para pelaku kebakaran hutan oleh penegak hukum di level kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan. “Perdata berupa permintaan ganti rugi. Secara pidana yang juga harus menyangkut korporasinya. Juga sanksi administratif yang saat ini juga sudah dilakukan berupa pembekuan, bahkan pencabutan izin,” katanya.

Adapun pada jangka panjang, Walhi, Greenpeace Indonesia, Greenomics, Institute Hijau Indonesia, dan Wetlands Internasional berharap pemerintah Indonesia mendorong pemulihan dan restorasi ekosistem gambut. “Di sinilah sumber masalah terbesar persoalan karhutla tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya. Kami mengusulkan blocking kanal dan tidak boleh ada pembangunan kanal-kanal baru di lahan gambut,” pungkasnya.

Advertisement

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad mengatakan salah satu penyumbang terbesar kebakaran lahan adalah konversi atau alih fungsi lahan gambut. Pembukaan lahan itu terkait kegiatan perkebunan monokultur dan hutan tanaman industri.

Akibatnya, lebih dari 43 juta orang terpapar asap, 370.000 orang menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), dan lebih dari 12 orang meninggal dunia lantaran terdampak kabut asap, baik secara langsung atau pun tidak langsung.

“Kerugian finansial sekitar Rp400 triliun. Belum lagi anggaran pemerintah untuk penanggulangan kebakaran dan asap yang meningkat dari Rp600 miliar menjadi hampir Rp1 triliun pada tahun ini,” pungkas Chalid.

Advertisement
Kata Kunci : Kabut Asap Lahan Gambut
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif