“Awalnya saya operasi gondok. Kemudian sesak nafas. Dibuat lubang di tenggorokan (karena hidung tidak bisa). Setelahnya, saya tidak bisa bicara,” kata Siti dengan suara yang kurang jelas saat mengadu di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jl Diponegoro 74, Jakarta Pusat, Minggu (8/8).
Menurut pengacara korban, Tommy Tobing, kejadian itu bermula Februari lalu. Saat itu, korban mendatangi sebuah rumah sakit di Kramat, Jakarta Pusat, dengan keluhan sesak nafas pasca operasi gondok. Di rumah sakit itu, ia ditangani dokter berinisial T.
“Tanpa memberitahukan penyakit pasien (sesak nafas) si dokter langsung merujuk ke RSCM,” ucap Tomy.
“Tanpa memberitahukan penyakit pasien (sesak nafas) si dokter langsung merujuk ke RSCM,” ucap Tomy.
Lantaran tidak diberitahu penyakitnya, korban enggan ke RSCM. Siti Chomsatun memilih untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter spesialis THT yang pernah merawatnya di rumah sakit tersebut, dokter R.
“Tetapi tidak bisa menemui. Alasannya sudah pulang. Besoknya, minta
bertemu tetapi tetap saja tidak bisa,” imbuh pengacara publik ini.
Pada tahapan ini, dr F membuat lubang pengganti hidung di tenggorokan. “Lubang itu dipergunakan untuk bernafas,” imbuh Tommy.
Namun demikian, tindakan medis rumah sakit tidak membuat sesak nafas korban mereda. Bahkan makin parah hingga mendekati derajat IV. Melihat perkembangan yang tidak membaik, akhirnya Siti Chomsatun dipindah ke RSCM.
Di rumah sakit pemerintah tersebut, ia langsung dioperasi karena telah masuk derajat IV, pingsan, dan kulit tangan membiru. Kondisi kritis tersebut lantaran perawat yang ikut membawa pasien ke RSCM tidak diberi riwayat medis pasien sehingga dokter jaga RSCM kesulitan mendiagnosa.
“Terdapat dugaan kuat tindakan malpraktik. Dokter T tidak menjelaskan penyakit yang diderita malah langsung merujuk ke rumah sakit lain. Suster yang mengantar ke RSCM tidak dibekali informasi medis memadai sehingga korban masuk derajat terburuk derajat IV,” imbuh Tommy.
Pun demikian, baik korban maupun pengacara belum berencana membawa rumah sakit itu ke meja hijau. Korban akan mengajukan kasus itu ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDI) untuk meminta pertanggungjawaban terlebih dahulu.
Pasal yang digotong yakni pelanggaran UU No. 36/2009 tetang Kesehatan, UU No. 29/2004 ttg praktik kedokteran, UU No 44/2009 tentang Rumah Sakit.
dtc/nad