News
Rabu, 15 Oktober 2014 - 02:40 WIB

Izin Pertambangan Perlu Diperketat Jelang MEA, Mengapa?

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Aktivitas penambangan pasir di Sungai Gendol lereng Merapi saat hujan. (JIBI/Harian Jogja/Sunartono)

Harianjogja.com, JOGJA – Kalangan akademisi mendesak pemerintah agar memperketat perizinan kegiatan penambangan jelang diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015.

Mereka menganggap perizinan pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah di Indonesia, Vietnam dan Filipina ditengarai mengancam pembangunan lingkungan berkelanjutan. Pasalnya tata kelola industri ekstraktif di kawasan Asia Tenggara dinilai belum baik.

Advertisement

Dalam daftar Resource Governance Index yang dirilis 2013 lalu, Indonesia berada di peringkat 14 dari 58 negara yang disurvei untuk urusan tata kelola sumber daya alam.
Bahkan posisi ndonesia masih di bawah Timor Leste yang menempati peringkat 13. Adapun Vietnam dan Filipina masuk di peringkat 43 dan 23.

Beberapa daerah di Indonesia diketahui memiliki sumber daya alam berlimpah, namun karena praktik sistem tata kelola pemerintahan yang buruk menjadikan warga sekitar yang seharusnya mendapatkan limpahan dari keberkahan itu tidak mendapatkan dampak ekonomi bahkan terjadi ketidakadilan ekonomi dan konflik sosial.

Advertisement

Beberapa daerah di Indonesia diketahui memiliki sumber daya alam berlimpah, namun karena praktik sistem tata kelola pemerintahan yang buruk menjadikan warga sekitar yang seharusnya mendapatkan limpahan dari keberkahan itu tidak mendapatkan dampak ekonomi bahkan terjadi ketidakadilan ekonomi dan konflik sosial.

Rektor UGM Pratikno mengatakan dampak kegiatan pertambangan umumnya merupakan marjinalisasi masyarakat adat, konflik horizontal dan kerusakan lingkungan.

“Yang paling banyak merasakan dampak dari ketiganya adalah masyarakat lokal,” ujar Pratikno di sela-sela pertemuan Forum Pemimpin Lokal Asia Tenggara yang diselenggrakan Jurusan Politik dan Pemrintahan Fisipol UGM di Hotel Phoenix, Senin (13/10/2014).

Advertisement

Sangat disayangkan, manfaat dari industri ekstraktif ini hanya dirasakan oleh segelintir elit politik dan elit ekonomi lokal.

“Demokrasi ekonomi menjadi tidak jalan, keuntungan yang didapat seharusnya bisa memberdayakan mayarakat,” katanya.

Pratikno berpendapat, pembangunan ekonomi dari kegiatan ekstraktif seharusnya banyak melibatkan partisipasi masyarakar sekitar. Adapun masyarakat sipil dan akademisi juga perlu mengawasi dampak sosial dan lingkungan yang kemungkinan bisa muncul di kemudian hari.

Advertisement

“Satu sisi kita mendorong pembangunan ekonomi, di sisi lain juga perlu mengerem masalah lingkungan. Semuanya butuh inovasi dan kreativitas,” tandasnya.

Sementara Guru Besar Jurusan Politik dan Pemerintahan Purwo Santoso mengatakan desentralisasi membawa peran yang lebih luas bagi pemerintah daerah dalam mengelola urusan di bawah kewenangannya termasuk di sektor ekstraktif seperti pertambangan, migas, kehutanan dan perikanan.

Menjelang diberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), kata Purwo, pemerintah dan tokoh lokal wajib berwawasan keluar karena pemimpin lokal menjadi pelaku penting dalam memberikan kemajuan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang dipimpinnya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif