News
Jumat, 21 Januari 2022 - 06:49 WIB

Ini Kode Praktik Suap yang Dipakai Hakim dan Panitera PN Surabaya

Newswire  /  Abu Nadzib  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Hakim Itong Isnaeni Hidayat (tengah) menyampaikan pembelaan saat berlangsungnya jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (20/1/2022). KPK menetapkan tiga orang tersangka dalam OTT terkait dugaan tindak pidana korupsi berupa suap pengurusan perkara di PN Surabaya, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/rwa.

Solopos.com, SURABAYA — KPK menjelaskan konstruksi perkara yang menjerat hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Itong Isnaeni Hidayat (IIH) beserta dua orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan suap.

Kode yang dipakai untuk komunikasi dalam praktik lancung itu adalah “upeti”. Dua tersangka lainnya itu adalah Panitera Pengganti PN Surabaya Hamdan (HD) dan pengacara atau kuasa hukum PT Soyu Giri Primedika (SGP) Hendro Kasiono (HK).

Advertisement

“Tersangka Itong Isnaeni Hidayat selaku hakim tunggal pada Pengadilan Negeri Surabaya menyidangkan salah satu perkara permohonan terkait pembubaran PT Soyu Giri Primedika (SGP) dan yang menjadi pengacara dan mewakili PT SGP adalah tersangka Hendro Kasiono (HK),” ujar Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (21/1/2022) dini hari.

Baca Juga: Hakim dan Panitera PN Surabaya Kena OTT KPK, Gara-Gara Kasus Ini

Advertisement

Baca Juga: Hakim dan Panitera PN Surabaya Kena OTT KPK, Gara-Gara Kasus Ini

Dari persidangan itu, kata Nawawi, diduga ada kesepakatan antara Hendro Kasiono dengan pihak perwakilan PT SGP untuk menyiapkan sejumlah uang yang akan diberikan kepada hakim yang menangani perkara tersebut.

Uang yang disiapkan untuk mengurus perkara itu diduga mencapai kisaran Rp1,3 miliar, dimulai dari tingkat putusan pengadilan negeri sampai tingkat putusan Mahkamah Agung (MA).

Advertisement

Terkait putusan yang diinginkan oleh Hendro Kasiono, lanjut Nawawi, di antaranya adalah agar PT SGP dinyatakan dibubarkan dengan nilai aset yang bisa dibagi sejumlah Rp50 miliar.

Baca Juga: Kena OTT KPK, Segini Harta Hakim dan Panitera Pengganti PN Surabaya

Kemudian, untuk memastikan bahwa proses persidangan perkaranya berjalan sesuai harapan, Hendro Kasiono diduga berulang kali berkomunikasi dengan Hamdan.

Advertisement

Komunikasi di antaranya dilakukan melalui sambungan telepon dengan menggunakan istilah “upeti” untuk menyamarkan maksud dari pemberian uang.

Nawawi mengatakan setiap hasil komunikasi antara Hendro Kasiono dan Hamdan diduga selalu dilaporkan oleh Hamdan kepada Itong.

“Hamdan lalu menyampaikan keinginan Hendro Kasiono kepada Itong, dan Itong menyatakan bersedia dengan adanya imbalan sejumlah uang,” ujar Nawawi.

Advertisement

Selanjutnya, sekitar bulan Januari 2022, Itong menginformasikan dan memastikan permohonan tersebut dapat dikabulkan. Ia pun meminta Hamdan untuk menyampaikan hal itu kepada Hendro Kasiono.

Hendro Kasiono diminta untuk merealisasikan sejumlah uang yang sudah dijanjikan sebelumnya.

Permintaan itu pun segera disampaikan Hamdan kepada Hendro Kasiono pada tanggal 19 Januari 2022. Lalu, pada hari itu pula, uang senilai Rp140 juta yang diperuntukkan bagi Itong diserahkan oleh Hendro Kasiono kepada Hamdan.

“KPK menduga Itong juga menerima pemberian lain dari pihak-pihak yang beperkara di Pengadilan Negeri Surabaya, dan hal ini akan didalami lebih lanjut oleh tim penyidik,” ujar Nawawi.

Baca Juga: Terkuak! Hakim PN Surabaya yang Terkena OTT KPK Punya Tanah di Solo

Dari konstruksi tersebut, KPK menetapkan Itong Isnaeni Hidayat dan Hamdan sebagai tersangka penerima suap, sedangkan Hendro Kasiono selaku tersangka pemberi suap.

Atas perbuatannya, tersangka Hendro Kasiono sebagai pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Kemudian, tersangka Hamdan dan Itong Isnaeni Hidayat sebagai penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif