News
Jumat, 27 Oktober 2017 - 07:30 WIB

HUT SOLOPOS : Festival Ayo Membaca, BI Solo Dorong Gerakan Nasional Non Tunai

Redaksi Solopos.com  /  Rini Yustiningsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kepala Tim Advisory dan Pengembangan Ekonomi BI Solo, M Taufik Amrozy memberikan sambutan dalam Festival Ayo Membaca. (Nicolous Irawan/JIBI/Solopos)

HUT Solopos menggelar Festival Ayo Membaca hasil kerja sama Solopos, BI Solo dan SGM.

Solopos.com, SOLO — Bank Indonesia (BI) Kantor Solo mendorong Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) kepada generasi milenial, salah satunya lewat lomba yang digelar di Festival Ayo Membaca (FAM) 2017. Menurut Kepala Tim Advisory dan Pengembangan Ekonomi BI Solo, M Taufik Amrozy o, M. Taufik Amrozy, GNTT bertujuan melakukan perubahan perilaku bertransaksi dari tunai ke non tunai.

Advertisement

Sistem pembayaran non tunai pada dasarnya lebih mengarah pada perubahan atas perilaku, dibandingkan sistem. Bertransaksi non tunai bukan hanya sekedar mengubah alat bayar dalam transaksi, tetapi menjadi langkah besar untuk mewujudkan kemajuan perekonomian nasional.

“Kami ingin seperti negara maju yang sebagian besar transaksinya cashless alias nontunai sebagian besar. Dasarnya karena nontunai lebih aman, lebih efisien, dan lebih akurat. Orang juga tidak perlu membawa banyak uang kertas, tapi cukup menggunakan kartu,” kata dia, kepada Solopos.com, Kamis (26/10/2017). Taufiq juga mengatakan transaksi nontunai juga dapat menekan biaya cetak uang yang mahal.

Menurut Taufik, GNNT mulai disambut baik oleh beberapa kementerian salah satunya Kementerian Perdangan dan Industri. Mereka meluncurkan peraturan kewajiban menghindari layanan nontunai di lingkungannya.

Advertisement

“Selain GNNT, kami juga mendukung gerakan cinta rupiah yakni menggunakan mata uang rupiah dalam berbagai transaksi di wilayah Indonesia,” ucapnya.

Penggunaan mata uang rupiah merupakan salah satu bentuk menegakkan kedaulatan bangsa. Hal tersebut dilaksanakan mengingat masih banyak penduduk Indonesia yang menggunakan mata uang asing saat bertransaksi, khususnya di daerah perbatasan, seperti Malaysia. “Sipadan dan Ligitan itu lepas dari Indonesia karena orang di sana lebih suka memakai ringgit untuk transaksi. Kita enggak pengin hal itu terjadi lagi,” pungkasnya.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif