News
Senin, 27 Juli 2015 - 15:36 WIB

Hari Raya Asadha dan Tipitaka Chanting Digelar di Candi Borobudur

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ribuan umat Buddha dan para biksu dari dalam maupun luar negeri melakukan peribadatan saat puncak perayaan Hari Asadha di pelataran Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (26/7/2015). Perayaan Hari Asadha yang ditandai dengan pelantunan Tipitaka dilaksanakan untuk memperingati khotbah pertama Sang Buddha Gautama setelah mencapai penerangan sempurna. (JIBI/Solopos/Antara/Hari Atmoko)

Hari Raya Asadha dan Tipitaka Chanting di Candi Borobudur diikuti ribuan umat Buddha

Harianjogja.com, MAGELANG – Ribuan umat Buddha dari seluruh Indonesia dan beberapa negara tetangga mengikuti perayaan Hari Raya Asadha di Kompleks Candi Borobudur, Sabtu (25/7/2015) hingga Minggu (26/7/2015). Hari Raya Asadha merupakan peringatah khotbah pertama Guru Agung Buddha Gotama.

Advertisement

Bikhu Pembina Daerah Jawa Tengah Majelis Sangha Theravada Indonesia, Cattanamo menjelaskan rangkaian kegiatan tersebut meliputi Tipitaka Chanting, yakni pembacaan Tipitaka dan puja bhakti agung perayaan Asadha, yakni membawa reliks Buddha ke pelataran Candi Borobudur.

Tipitaka Chanting adalah mengulang kembali khotbah-khotbah Guru Agung Buddha, membaca apa-apa yang dimuat di Tipitaka. “Kegiatan ini bertujuan mengajak umat Buddha agar senang membaca Tipitaka dan agar lebih sering membacanya,” kata dia,di sela kegiatan.

Adapun puncak perayaan Asadha, selain kirab, juga dibacakan parita dan mendengarkan khotbah. Sedikitnya 3.000 umat Buddha dari seluruh Indonesia, bahkan dari beberapa negara lain seperti Singapura dan India mengikuti prosesi tersebut. Peserta dari bikhu ada 50 orang.

Advertisement

Pada kegiatan ini, mereka juga berdoa untuk kedamaian umat manusia. Kaitannya kasus intoleransi di Indonesia, menurutnya umat diajak menjaga kerukunan dan perdamaian pada semua manusia sebagai saudara.

Ketua Panitia kegiatan, Bante Dhammakaro Tera menjelaskan Tipitaka adalah kitab suci yang dulunya berupa tuturan lesan, baru pada abad keenam ditulis menjadi buku.

Pembacaan Tipitaka perlu diulang-ulang agar paham, sekaligus melestarikan isi tulisan tersebut. “Tipitaka berisi sastra yang luhur,” sebutnya.

Advertisement

Manfaat pembacaan Tipitaka, lanjutnya, adalah menguatkan sada (iman) sekaligus mengingatkan kembali akan ajaran Guru Agung Budha. Bante Dhammakaro menuturkan, dalam pembacaan Tipitaka maupun parita doa, ada energi yang memberi kekuatan baik pada tubuh maupun lingkungannya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif