News
Kamis, 27 Agustus 2015 - 14:00 WIB

HARGA MINYAK : Di Balik Anjloknya Harga Minyak: Perang Arab Vs AS, Siapa Menang?

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Harga minyak dunia yang anjlok menjadi babak baru perang harga Arab Saudi vs AS.

Solopos.com, JAKARTA — Harga minyak mentah jatuh sejak munculnya data penurunan permintaan bensin di Amerika Serikat (AS) dan produksi minyak serta BBM yang mencapai rekor tertinggi. Sorotan tertuju pada perlambatan ekonomi Tiongkok, konsumen minyak nomor 2 terbesar di dunia. Benarkah ekonomi Tiongkok jadi penyebab utama?

Advertisement

Di tengah jatuhnya harga minyak, negara-negara OPEC enggan mengurangi produksinya dan ikut memengaruhi ekonomi dunia. Produksi minyak Rusia bahkan mencapai rekor tertinggi.

Harga minyak jatuh dalam beberapa pekan terakhir di tengah kekhawatiran melimpahnya stok minyak dunia pada 2014 belum berakhir. Data dari AS juga menunjukkan kekhawatiran bahwa harga minyak akan tenggelam karena limpahan stok hingga akhir tahun ini.

Advertisement

Harga minyak jatuh dalam beberapa pekan terakhir di tengah kekhawatiran melimpahnya stok minyak dunia pada 2014 belum berakhir. Data dari AS juga menunjukkan kekhawatiran bahwa harga minyak akan tenggelam karena limpahan stok hingga akhir tahun ini.

Wall Street Journal melaporkan data stok minyak mentah AS memang berkurang drastis sebesar 5,5 juta barel pada 21 Agustus lalu. Namun stok bensin dan BBM lainnya justru meningkat hingga mencapai 1,283 miliar barel, atau rekor tertinggi sejak 1990. Pada saat yang sama, konsumsi BBM turun 2 juta barel sehari, dan konsumsi bensin turun 500.000 barel per hari.

Dampaknya, harga jual minyak mentah turun 8,37 sen atau 5,8% menjadi US$1,3549 per galon. Harga eceran bensin di AS rata-rata US$2,56 per galon (sekitar Rp9.500/liter) Selasa lalu, atau yang terendah sejak 2004.

Advertisement

Bagaimana dengan AS? Kenyataannya tak jauh beda. Produksi minyak AS memang sedikit diturunkan beberapa pekan terakhir menjadi 9,3 juta barel per hari setelah mencapai puncaknya pada Juni lalu. Namun tetap saja produksi mereka jauh lebih tinggi dari tahun lalu.

Analisis di Bloomberg yang ditulis Leonid Bershidsky, Senin (24/8/2015), menjelaskan fenomena ini tak lepas dari keinginan negara produsen minyak untuk menjaga pendapatan mereka. Hal ini juga terkait perang harga antara Arab Saudi vs AS.

Tahun lalu, saat harga minyak melejit, Rusia mendapatkan keuntungan dan nilai tukar rubel meningkat. Sejak itu, nilai rubel didevaluasi seiring harga minyak, sehingga setiap ekstra barel minyak yang terjual menghasilkan pendapatan yang sama dalam rubel. Alhasil, tak ada alasan bagi Rusia untuk mengurangi produksi, karena makin banyak minyak yang dijual makin besar pendapatannya.

Advertisement

Sedangkan Arab Saudi diduga punya alasan lain. Sebagai salah satu produsen minyak terbesar, Arab sadar betul bahwa AS akan menjadi pesaing terberat OPEC di bursa minyak dunia. Dalam satu dekade terakhir, AS telah berhasil mengembangkan industri oil shale mereka.

Oil shale merupakan minyak yang diekstrak dari serpihan batuan fosil dan berbeda dengan sumur-sumur minyak biasa. AS diyakini memiliki cadangan shale terbesar di dunia, bahkan bisa menjadi produsen minyak terbesar di masa depan.

Tahun lalu, bank-bank investasi memperkirakan bahwa harga break event point (BEP) oil shale adalah US$60. Namun, harga oil shale sesungguhnya diyakini bisa jauh di bawah itu, yakni sekitar US$29. Data badan informasi energi AS menyatakan produksi oil shale meningkat pesat tahun lalu di hampir semua lokasi tambang.

Advertisement

Dalam situasi seperti ini, Arab Saudi tidak punya pilihan lain selain terus memproduksi minyak mentahnya. Jika AS mampu menjual minyak di bawah harga US$40, mau tak mau minyak Arab juga harus dijual dengan harga yang bersaing. Belum lagi, Iran juga sedang bersiap kembali masuk ke pasar minyak global.

Advertisement
Kata Kunci : Harga Minyak Minyak As
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif