News
Senin, 6 April 2015 - 07:47 WIB

HARGA BBM : Kebijakan Jokowi Dituding Bikin Tak Nyaman, Ini Alasannya…

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Unjuk rasa Front Aksi Mahasiswa Soloraya di Bundaran Gladak, Solo, Selasa (31/3/2015). (Ivanovich Aldino/JIBI/Solopos)

Harga BBM fluktuatif bikin rakyat tidak nyaman.

Solopos.com, JAKARTA — Kebijakan pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melepaskan harga bahan bakar minyak (BBM) sesuai mekanisme pasar atau harga keekonomian menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat.

Advertisement

Fluktuasi harga BBM dalam kurun waktu sebulan ini memicu kemarahan warga tanpa diiringi kesiapan pemerintah mengontrol harga kebutuhan di pasar. Maklum saja, dalam satu bulan ini, dua kali harga BBM berfluktuasi.

Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengungkapkan masyarakat belum siap dengan naik turunnya harga BBM. Alasannya, sambung dia, pemerintah sangat tidak siap dengan dampak fluktuasi tersebut.

”Masyarakat sangat marah dengan model naik turunnya harga BBM tanpa diikuti kesiapan. Sistemnya belum mendukung untuk model itu, seperti sistem transportasi, harga kebutuhan pokok dan lainnya. Jadinya tragis,” ucap dia sebagaimana dikutip dari Liputan6.com, Minggu (5/4/2015).

Advertisement

Tulus menjelaskan, masyarakat berang ketika harga BBM menurun, ?tarif angkutan umum dan harga kebutuhan pokok tidak ikut turun. Sementara saat harga jual BBM naik, seperti menjadi kesempatan bagi pedagang dan operator jasa angkutan untuk menaikkan tarif.

”Jangan mencabut subsidi atau menerapkan mekanisme pasar jika di lapangan belum siap untuk dilakukan tarif pasar. ?Jika tidak bisa mengatasi dampaknya, tidak usah jadi pemerintah, mereka digaji besar,” sindir Tulus.

Jangan Tajam
Terpisah, Deputi Statistik, Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Sasmito Hadi Wibowo, mengungkapkan usulan perubahan harga BBM setiap enam bulan hanya akan memicu dampak kenaikan harga jual lebih besar dibanding per dua pekan sekali.

Advertisement

”Lebih enak yang sekarang, kalau enam bulan tiba-tiba menaikkan Rp1.000 per liter, dampaknya akan besar sekali ke inflasi. Kalau yang sekarang moderat dan bisa kami handle inflasinya,” kata dia.

Sasmito menambahkan naik turunnya harga BBM lebih dikeluhkan oleh pedagang atau pengusaha untuk menetapkan struktur biaya operasional. Namun, Sasmito mengaku, masyarakat perlu terbiasa dengan kebijakan fluktuasi harga BBM sehingga ke depan tidak akan ada lagi masalah.

”Yang penting naik turunnya harga BBM enggak tajam. Itu sih intinya,” pungkas Sasmito.

Salahi UUD
Ketua MPR Zulkifli Hasan mengkritik kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM dalam waktu yang relatif singkat dan mengikuti harga pasar. Sebelumnya, pemerintah pada 28 Maret lalu menaikkan harga BBM jenis solar dan premium Rp500/liter.

”BBM itu menurut UUD harus dapat subsidi karena amanat UUD kan seperti itu untuk hajat hidup orang banyak. Jika BBM ikut harga pasar itu artinya pemerintah berpotensi melanggar konstitusi. Saya ingatkan pemerintah harus hati-hati dalam menetapkan harga BBM jangan sampai ikut-ikutan harga pasar,” katanya.

Pasal 33 UUD 1945 dalam salah satu ayatnya mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ketika ditanya apakah pemerintah sudah melanggar konstitusi, Zulkifli mengatakan belum sampai ke arah sana karena ada subsidinya dengan nilai tetap namun tidak terlalu besar.

”Memang katanya untuk pengalihan subsidi namun jika fluktuasi harga BBM yang terjadi sangat cepat ini akan menimbulkan kepanikan yang luar biasa. Lebih baik pemerintah melakukan kajian tiga bulan sekali untuk menentukan harga ecerannya. MPR sebagai lembaga negara berhak mengingatkan pemerintah terkait kebijakan yang diambil walaupun penentuan kebijakan merupakan hak pemerintah sendiri,” kata Zulkifli.

Pemerintah Membantah
Sebelumnya, mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie menilai Presiden Joko Widodo menyalahi UUD 1945 karena menerapkan harga bahan bakar minyak sesuai dengan harga pasar. Kwik menjelaskan pada 2003 Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 28 ayat (2) UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi karena ketentuan di dalamnya menyerahkan proses pembentukan harga eceran BBM dalam negeri sepenuhnya kepada mekanisme persaingan pasar. Hal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Sementara itu, pemerintah menegaskan tidak ada peraturan yang dilanggar terkait kenaikan harga BBM baru-baru ini. ”PP Nomor 30 Tahun 2009 berdasarkan keputusan MK, penentuan harga harus ditetapkan oleh pemerintah. Begitu bunyinya,” kata Jubir ESDM, Saleh Abdulrahman, di Jakarta Sabtu (4/4/2015).

Pemerintah, kata Saleh, tidak sepenuhnya melepaskan harga jual minyak kepada pasar. Dia mengambil contoh kenaikkan BBM 28 Mei lalu. Saat itu, kenaikan hanya terjadi pada BBM jenis Premium. ”Kami tidak melepas sepenuhnya ke harga pasar. Kami lihat harusnya solar juga naik. Tapi kami tahan,” tandasnya.

Menurutnya, pemerintah melalui Permen telah melakukan kajian penentuan harga jual BBM dalam waktu satu bulan sekali.

Cadangan Menipis
Di sisi lain, konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) terus didorong. Sebab, cadangan BBM akan semakin menipis dan harganya bisa terus meningkat. ”BBM itu adalah energi yang harus ditinggalkan, dan beralih ke gas. Gas metana, kalau sekarang pemerintah sudah mengejar konversi ke BBG itu segera lakukan,” ungkap Wakil Ketua Komisi VII DPR, Satya W. Yudha.

Satya menuturkan, roadmap konversi BBM ke BBG sudah ada di tangan pemerintah dari hasil diskusi dengan DPR sejak beberapa tahun yang lalu. Pemerintah cukup menyempurnakan bagian pelaksaannnya. Sekarang, harga BBM jenis premium Rp7.400/liter di Jawa-Madura-Bali dan solar Rp6.500/liter. Bila dengan BBG, masyarakat cukup mengeluarkan Rp4.100/liter. ”Harganya lebih murah. Kalau dikasih converter kit, pasti masyarakat akan pindah,” ujar Satya.

Pemerintah juga bisa mendorong angkutan umum untuk menggunakan BBG. Bila selama ini tarif angkutan umum selalu naik mengikuti harga BBM, dengan BBG kenaikan tarif tidak akan terlalu terasa. (JIBI/Solopos/Antara/Detik)

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif