News
Jumat, 7 Juli 2023 - 17:34 WIB

Drama Lautan Jilbab Cak Nun jadi Awal Pembolehan Pemakaian Jilbab di Indonesia

Abu Nadzib  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pementasan drama Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib yang disutradarai Agung Waskito dengan supervisi Dr. Kuntowijoyo pada tahun 1989. (Istimewa)

Solopos.com, YOGYAKARTA — Jauh sebelum berperan besar dalam lengsernya Presiden Soeharto yang menandai lahirnya Era Reformasi, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) telah lebih dulu mengentak publik dengan pentas drama Lautan Jilbab di akhir tahun 1980-an.

Kala itu, pemakaian jilbab belum sefamilier sekarang. Bahkan di lembaga pemerintahan dan sekolah pemakaian jilbab dilarang pemerintah karena alasan politis.

Advertisement

Cak Nun mengaku, ide membuat pentas drama Lautan Jilbab itu muncul dari kegelisahannya karena perempuan muslimah ketika itu tak bebas memakai jilbab.

“Dulu belum banyak yang pakai jilbab, dianggap aneh. Dan memakai jilbab dipersulit oleh birokrasi,” tutur Cak Nun dalam sejumlah kesempatan yang diunggah di kanal Youtube Caknun.com, seperti dikutip Solopos.com, Jumat (7/7/2023).

Suami dari artis Novia Kolopaking itu memang sosok yang komplet. Ia seorang sastrawan, pemain teater, agamawan serta pemikir modern.

Advertisement

Tak hanya piawai menumpahkan ide melalui tulisan yang dimuat sejumlah media nasional, sejak usia remaja Cak Nun juga aktif dalam dunia teater.

Bersama Teater Dinasti, di akhir era 80-an dan awal 90-an Cak Nun menghasilkan karya-karya naskah pementasan drama seperti Santri-santri Khidlir, Sunan Sableng dan Baginda Faruq, Keluarga Sakinah, Lautan Jilbab, Pak Kanjeng, dan Perahu Retak.

Yang fenomenal adalah drama Lautan Jilbab. Pementasan Lautan Jilbab diangkat dari judul puisi berjudul sama.

Advertisement

Puisi ini tercipta pada 16 Mei 1987 secara spontan, sore hari sebelum Cak Nun mengisi acara Ramadan in Campus yang diselenggarakan Jamaah Shalahuddin UGM.

Setelah penampilan penyair Taufiq Ismail di boulevard UGM, pentas puisi Lautan Jilbab mendapat sambutan hangat ribuan orang yang hadir.

Puisi ini kemudian mengalami revisi, dari satu judul berkembang menjadi 33 sub judul, terhimpun dalam buku Syair Lautan Jilbab yang terbit tahun 1989.

Pada masa Orde Baru ketika itu, pemakaian jilbab di kalangan muslimah Indonesia, terutama di sekolah dan tempat kerja dilarang oleh pemerintah.

Karena pemakaian jilbab dianggap sebagai fenomena politik Islam.

Atas bentuk represi Orde Baru itu, Cak Nun yang sejak kecil menentang ketidakadilan, memandang tindakan pemerintah ini melanggar hak asasi perempuan untuk berjilbab.

Cak Nun pun menginisiasi pentas Lautan Jilbab di berbagai kota di Indonesia.

“Judule dibikin Lautan Jilbab biar heboh dan gemanya ke seluruh negeri. Padahal yang ikut juga cuma beberapa tapi di banyak tempat,” ujar Cak Nun sambil tertawa lebar.

Pementasan drama Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib disutradarai Agung Waskito dengan supervisi Dr. Kuntowijoyo.

Drama Lautan Jilbab kali pertama dipentaskan kelompok Sanggar Shalahuddin UGM.

Pementasan ini dianggap memecahkan rekor jumlah penonton. Tidak kurang dari 3.000 penonton pada malam pertama, dan sekitar 2.000 penonton saat malam kedua.

Karena antusias yang tinggi itu, drama ini dipentaskan di banyak kota selain Yogyakarta, yaitu di Madiun, Malang, Surabaya, Bandung, Jember, dan Makassar.

Puisi dan pementasan teater Lautan Jilbab tak ubahnya sebuah ajakan perlawanan. Sejak itu pemakaian jilbab punya arti perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru.

“Pakai jilbab atau tak berjilbab adalah otoritas pribadi setiap wanita. Pilihan atas otoritas itu silakan diambil dari manapun: dari studi kebudayaan, atau langsung dari kepatuhan teologis. Yang saya perjuangkan bukan memakai jilbab atau membuang jilbab, melainkan hak setiap manusia untuk memilih,” ujar ayah dari vokalis Band Letto, Sabrang Damar Panuluh (Noe) itu.

Sosiolog Belanda, Niels Murder, yang perhatian kepada perkembangan sosiokultural Indonesia berpendapat, sejak pentas Lautan Jilbab oleh Cak Nun bersama Sanggar Shalahuddin digelar, busana muslimah berjilbab menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia hingga kini.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif