News
Sabtu, 10 Februari 2024 - 21:08 WIB

Dianggap Berisiko Hambat Investasi, Pengusaha Tolak Pajak Hiburan 40%-75%

Dwi Rachmawati  /  Ika Yuniati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi persiapan spa. (Istimewa)

Solopos.com, JAKARTA — Kalangan pengusaha menilai aturan pajak hiburan tertentu sebesar 40%-75% berisiko menghambat investasi dan kontraproduktif terhadap pertumbuhan sektor pariwista.

Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Hariyadi Sukamdani, mengatakan, penerapan pajak yang terlalu tinggi secara jangka panjang akan membuat industri hiburan semakin redup.

Advertisement

Bahkan, dia menyebut risiko terburuk dari kenaikan pajak hiburan yang signifikan bisa membuat investor hengkang dari Indonesia.

“Secara alamiah dia [investor] akan hilang sendiri. Kalau kita mau dorong pariwista itu [pajak hiburan terbaru] sangat kontraproduktif,” ujar Hariyadi dalam konferensi pers, dikutip Jumat (9/2/2024).

Advertisement

“Secara alamiah dia [investor] akan hilang sendiri. Kalau kita mau dorong pariwista itu [pajak hiburan terbaru] sangat kontraproduktif,” ujar Hariyadi dalam konferensi pers, dikutip Jumat (9/2/2024).

Di sisi lain, pengenaan pajak hiburan tertentu sebesar 40%-75%, kata Hariyadi, juga berisiko menimbulkan praktik usaha ilegal hingga penyimpangan di kalangan aparat penegak hukum.

Padahal, selama ini para pelaku usaha di sektor hiburan yang terdampak pajak terbaru UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yakni bar, klub malam, deskotek, spa, dan karaoke telah menjalankan bisnis dengan tertib aturan.

Advertisement

Oleh karena itu, para pelaku usaha sektor hiburan ramai-ramai mengajukan uji materil atau judicial review pasal 58 ayat 2 UU HKPD terkait dengan pajak hiburan 40%-75% ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka minta MK agar membatalkan pasal tersebut karena dianggap diskriminatif dan tidak berdasar. Seiring gugatan tersebut, Hariyadi menekankan bahwa para pengusaha tetap konsisten untuk tidak membayar pajak sesuai aturan yang dianggap bermasalah tersebut.

“Kita akan ngeyel, karena ini kan udah perkara hidup matinya perusahaaan. Kalau pemerintah baik tidak ingin masyarakatnya kehilangan pekerjaan jadi kita enggak ngemplang kita tetap bayar dengan tarif lama supaya bisa survive semua,” tegasnya.

Advertisement

Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno, menyebut ada tiga kementerian yang diperintahkan Presiden sebagai kuasa negara dalam menghadapi gugatan pengusaha hiburan di MK, yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

“Sekarang sudah ada surat kuasa dari Presiden atas nama pemerintah Indonesia dan tiga Kementerian untuk menghadapi gugatan di MK,” kata Sandiaga. Meskipun digugat oleh pengusaha, Sandiaga menuturkan pemerintah telah mengambil sikap untuk mengizinkan pemerintah daerah (pemda) memberikan insentif fiskal terhadap pelaku usaha yang keberatan atas pajak hiburan terbaru itu sesuai dengan pasal 101 UU HKPD. “Beberapa daerah seperti di Bali dan Labuan Bajo sudah melakukan penyesuaian,” ungkap Sandiaga.

Pajak Hiburan Tertentu

Mengacu UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), pemerintah menaikkan pajak  hiburan tertentu menjadi 40-75%.

Advertisement

Pasal 58 ayat 2 UU No. 1/2022 atau UU HKPD menyebutkan tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.

Namun demikian, pada ayat selanjutnya disebutkan khusus tarif PBJT atas jasa hiburan tertentu di antaranya diskotek
karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi sebesar 75%.

Selanjutnya, tarif PBJT akan ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda) di masing-masing daerah.

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul Pengusaha Tolak Pajak Hiburan 40%-75%, Tetap Pakai Tarif Lama 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif