News
Kamis, 12 September 2019 - 19:00 WIB

Capim KPK Ini Bilang Tak akan OTT, Tapi Ajak Bicara Koruptor

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, JAKARTA — Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, diminta komentarnya soal revisi Undang-Undang No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saat uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR. Jawabannya sangat kontradiktif dengan sejumlah aksi KPK selama ini.

Johanis mengatakan bahwa terkait penyadapan ada yang salah dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan teori yang dia dapat, katanya, seseorang yang mengetahui ada pidana seharusnya langsung melaporkan. Saat ini, menurutnya, yang dilakukan KPK adalah membiarkan, lalu menghadapinya hingga menciduk melalui operasi tangkap tangan (OTT).

Advertisement

“OTT yang dilakukan, saya melihat investor asing maupun dari dalam negeri jadi ketakutan investasi dana di dalam negeri. Sementara negara membutuhkan investor di dalam negeri sehingga dapat procurement baik dan income akan baik. Tidak kemudian ditakut-takutkan dengan OTT KPK,” katanya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (12/9/2019).

Ke depan, Johanis menjelaskan bahwa pola seperti itu tidak boleh ada. Jika dia menjadi pimpinan KPK, terduga koruptor lebih diajak bicara.

KPK akan mengundang yang bersangkutan untuk meminta penjelasan. Pasalnya belum ada kerugian negara, mereka harus membuat pernyataan di atas kertas.

Advertisement

“Lalu siap mengundurkan diri dari pejabat kalau dia kepala dinas. Kalau kepala daerah, pimpinan partai ditegur. Kalau dia tidak mendengar, kita minta yang bersangkutan di-impeach sehingga ada rasa takut untuk korupsi,” jelasnya.

Dalam poin revisi UU 30/2019, KPK terdapat dewan pengawas. Johanis yang merupakan Direktur Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung sepakat dengan itu karena lembaga lain seperti kejaksaan juga punya. Bahkan, dia usul ada pengawas eksternal.

“Kemungkinan besar akan lebih efektif karena bisa lakukan teguran, pengawasan eksternal bisa lakukan tindakan hukum. Pimpinan yang lakukan tindakan indisipliner diberi hukuman atau diserahkan ke lembaga berwenang. Ini sudah dilakukan di kejaksaan,” katanya.

Advertisement

Terakhir, Johanis juga satu pemahaman KPK harus bisa mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3). Menurutnya, hal ini harus ada karena manusia tidak luput dari kesalahan.

“SP3 [dikeluarkan] kalau ada kekeliruan ditetapkannya orang jadi tersangka berlarut-larut dan tidak bisa dibuktikan perlu SP3. SP3 juga bisa dihidupkan kembali jika ada bukti baru,” ucapnya.

Advertisement
Kata Kunci :
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif