News
Minggu, 27 Agustus 2017 - 17:00 WIB

Buntut Kasus Saracen, Presiden Diminta Tak Lantik Paslon Penyebar Isu SARA

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bareskrim Polri saat menggelar konferensi pers terkait kejahatan hate speech, Rabu (23/8/2017). (Juli Etha/JIBI/Bisnis)

Presiden diminta tidak melantik paslon yang diduga terlibat penyebaran isu SARA, termasuk jika terbukti menggunakan jasa Saracen.

Solopos.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta tidak melantik gubernur terpilih jika terbukti terlibat kejahatan yang mengeksploitasi suku, agama, ras dan antargolongan.

Advertisement

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus berpendapat dalam penyidikan sindikat Saracen penyebar berita hoax, mulai terungkap motif-motif dan modus operandinya. Selain itu, polisi juga bisa mengendus siapa pengguna jasa Saracen, misalnya dalam pemilihan kepala daerah.

“Polri telah mengkonstatasi indikasi sindikat Saracen mengunggah konten bermuatan SARA selama Pilkada. Kelompok Saracen harus mendapatkan perhatian yang serius dan perlu diambil tindakan tegas, termasuk menunda atau tidak melantik Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih siapapun dia dan di daerah pemilihan manapun. Ini kejahatan SARA yang serius dan sistemik, dengan menggunakan modus operandi penyebarannya melalui Saracen sebagai penyebar berita hoax yang menyebarkan ujaran kebencian selama Pilkada di manapun,” paparnya, Minggu (27/8/2017).

Karena maraknya isu SARA secara masif selama Pilkada Jakarta, menurutnya bisa diduga kelompok Saracen berada di balik penggunaan unggahan berbau SARA tersebut. Prilaku ini menurutnya direncanakan secara sistimatis yang berawal dari usul inisatif revisi UU Pilkada. Revisi itu, katanya, memperlemah penindakan penindakan pelaku penyebaran isu SARA dan rendahnya ancaman pidana terhadap pelakunya.

Advertisement

Dalam UU Pilkada No. 10/2016, pelaku hanya diancam pidana paling rendah 3 bulan dan paling tinggi 18 bulan. Padahal ancaman pidana kejahatan serupa dalam UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis adalah maksimum 6 tahun penjara.

Menurut Petrus, terdapat celah yang bersifat membuka ruang untuk masuknya eksploitasi isu SARA dalam Pilkada guna memenangkan pasangan calon di daerah pilkada tertentu. Karena itu, jika dalam penyidikan kasus Saracen terdapat indikasi keterlibatan oknum-oknum partai politik, tim sukses pasangan calon, atau bahkan pasangan calon itu sendiri, maka baik Presiden ataupun Menteri Dalam Negeri diminta untuk tidak melantik pasangan calon terpilih.

“Memenangkan pilkada melalui kejahatan SARA yang secara tegas dilarang dan diancam dengan pidana penjara oleh UU, namun selama pilkada, termasuk Pilkada DKI Jakarta, tidak seorangpun dipenjara karena kampanye yang kontennya SARA,” pungkasnya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif