Budi Gunawan tersangka. Dampaknya bukan hanya dirasakan Polri, tapi juga Ketua KPK, Abraham Samad, yang menjadi sorotan.
Solopos.com, JAKARTA — Beberapa orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai Man On The Street mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengklarifikasi tulisan di situs Kompasiana dengan judul Rumah Kaca Abraham Samad.
Tulisan atas nama Sawito Kartowibowo itu tertanggal 17 Januari 2015 atau setelah Komjen Pol. Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Dalam tulisan itu, disebutkan bahwa Ketua KPK, Abraham Samad, memiliki hubungan dekat dengan beberapa petinggi di PDIP. Selain itu, Samad juga disebut kerap bertemu dengan beberapa petinggi PDIP secara rahasia saat Pilpres 2014.
Tulisan itu juga menyebut ada kalimat dendam politik. “Kenapa Jenderal Budi Gunawan yang punya lobi politik kuat mengusulkan Jusuf Kalla, sampai-sampai Samad tersingkir dan marah besar. Samad juga harus jujur ke publik soal tingkah lakunya dalam mendekati PDIP,” sebut tulisan itu.
Desakan agar Abraham Samad memberikan klarifikasi tersebut disampaikan Dosen Universitas Indonesia (UI), Chaudry Sitompol, di Gedung KPK Jakarta, Rabu (21/1/2015). “Kita bertanya dan mengklarifikasi soal tulisan berjudul Rumah Kaca Abraham Samad yang beberapa waktu lalu ada di Kompasiana,” tuturnya.
Menurut Chaudry, jika tulisan pada media nitizen Kompasiana tersebut ternyata benar, maka hal itu dapat menjadi ancaman bagi KPK. Dikhawatirkan, KPK bisa dijadikan alat untuk melakukan transaksi politik.
“Maka kami ingin bertanya kepada pejabat KPK yang terkait maupun dari petinggi PDIP yang disebut-sebut dalam berita itu,” kata Chaudry.
Chaudry meyakini bahwa persoalan tersebut cukup penting untuk diklarifikasi oleh Abraham Samad. Pasalnya, Chaudry tidak ingin kabar tersebut berkembang menjadi luas dan semakin simpang-siur.
Selain itu, Chaudry mengatakan langkahnya beserta dua temannya, yaitu Hadidjojo Nitimihardjo dan Indra Ketaren, tersebut sebagai salah satu cara untuk menjaga KPK agar tetap bersih dan transparan. Kita minta secepat mungkin harus diselesaikan agar tidak berkembang menjadi komoditas politik lagi,” kata Chaudry.