News
Senin, 21 November 2022 - 08:40 WIB

Berharap Harapan Buruh Terakomodasi Setelah Upah 2023 Naik Maksimal 10%

Denis Riantiza Meilanova  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Seusai PTUN Jakarta mengabulkan gugatan terkait Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta 2022, apakah UMP DKI Jakarta bakal turun? (Ilustrasi/Solopos Dok)

Solopos.com, JAKARTA—Serikat pekerja atau buruh menilai penetapan kenaikan upah minimum yang maksimal 10% pada 2023 terlampau rendah. Buruh berkukuh kenaikan upah minimum setidaknya 13%.

Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Riden Hatam Aziz mengatakan ketetapan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum (UMP) Tahun 2023 tersebut tidak sesuai beban pekerja yang dihadapkan pada kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang berimplikasi pada semua lini kehidupan. “Masih belum sepenuhnya sesuai harapan kami karena dampak dari naiknya BBM berimplikasi ke semua lini kebutuhan hidup,” ujar dia kepada Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI), Minggu (20/11/2022).

Advertisement

Riden meminta penetapan upah tidak didasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Sebab, formula perhitungan menggunakan PP tersebut akan membuat UMP menjadi lebih kecil.

Baca Juga William Wongso Pastikan Semua Makanan KTT G20?Halal

Dia mengatakan penetapan upah harus mengacu pada kebutuhan hidup yang layak karena pekerja telah mendapatkan pukulan yang berat sejak pandemi Covid-19. Selain itu, menurutnya, kenaikan upah pada tahun lalu hanya sekitar 1%, padahal inflasi bisa mencapai 6% dalam dua tahun terakhir.

Advertisement

“Dengan situasi itulah kami meminta kenaikan upah minimal 13% secara nasional. Ini untuk menjawab terhadap situasi ekonomi tiga tahun terakhir sehingga 13% masih sangat rasional karena ekonomi tumbuh 4%-5% dan inflasi 5%-6% tahun ini, dan inflasi tahun berjalan ke depan, 13% adalah kenaikan minimum,” katanya.

Adapun, upah minimum 2023 mengacu pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Alhasil, angkanya tidak rendah seperti UMP 2022 yang hanya naik 1,09%. Untuk memutuskan upah minimum (UM) tahun ini, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyusun Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) baru.

Baca Juga Luhut: KTT G20 Sumbang Pendapatan Negara Rp7,5 Triliun

Hal ini lantaran PP No 36 tahun 2021 tentang Pengupahan yang menjadi turunan dari UU Cipta Kerja ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi inkonstitusional bersyarat sehingga perlu landasan hukum baru untuk menetapkan UM buruh. Dalam Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 yang ditetapkan 16 November 2022 dan diundangkan 17 November 2022, kenaikan upah minimum buruh untuk 2023 dibatasi tak boleh lebih dari 10%.

Advertisement

Dalam Pasal 6 ayat (4) Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 menyatakan bahwa formulasi penghitungan upah minimum menggunakan variabel inflasi serta pertumbuhan ekonomi dikalikan alfa, di mana alfa merupakan kontribusi pekerja terhadap pertumbuhan ekonomi. Angkanya berada di rentang 0,1-0,3. Kemudian, dalam Pasal 7 ayat (1) mengatur tentang pembatasan kenaikan upah minimum maksimal 10%.

Jika dalam hal hasil penghitungan penyesuaian nilai upah minimum melebihi 10%, gubernur menetapkan upah minimum dengan penyesuaian paling tinggi 10%. Beleid itu memerintahkan gubernur untuk segera mengumumkan upah minimum provinsi (UMP) 2023 paling lambat pada 28 November 2022.

Baca Juga Jokowi Berharap KTT G20 Bali Hasilkan Kerja Sama Konkret

Gubernur juga bisa menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2023, diumumkan paling lambat 7 Desember 2022. Adapun, upah minimum provinsi dan kabupaten/kota yang telah ditetapkan mulai berlaku pada 1 Januari 2023. Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga tetap meminta kenaikan upah 2023 sebesar 13% dengan mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Advertisement

Meski demikian, Partai Buruh mengapresiasi dan berterima kasih kepada Presiden Joko Widodo dan Menaker Ida Fauziah atas tidak digunakannya PP Nomor 36/2021 sebagai dasar hukum untuk menetapkan upah minimum. Hal tersebut menyikapi terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 yang menjadi dasar hukum dalam menentukan kenaikan upah minimum, baik upah minimum provinsi (UMP) maupun upah minimum kabupaten/kota (UMK), sebagai pengganti PP No 36 Tahun 2021.

Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI Said Iqbal menilai Permenaker Nomor 18/2022 seharusnya tak hanya dijadikan sebagai dasar hukum penetapan upah minimum tahun ini saja, tetapi juga untuk tahun-tahun selanjutnya. “Partai Buruh dan organisasi serikat buruh mengapresiasi keluarnya dasar hukum penetapan upah minimum yang tidak menggunakan PP 36/2021,” ujar Said Iqbal dalam siaran persnya, Minggu (20/11/2022).

Baca Juga Tak Akui Rusia, Presiden Ukraina Sebut KTT G20 dengan G19

Said menjelaskan Permenaker Nomor 18/2022 harus diterjemahkan oleh Dewan Pengupahan di provinsi maupun kabupaten/kota sebagai dasar untuk merekomendasikan kenaikan upah minimum kepada bupati/walikota maupun gubernur. “Bahkan gubernur sudah diundang oleh Menaker dan Mendagri untuk diberikan penjelasan tentang tata cara kenaikan upah minimum 2023 sesuai Permenaker ini sehingga sudah jelas PP Nomor 36/2021 sudah tidak bisa lagi digunakan sebagai acuan penetapan upah minimum,” katanya.

Advertisement

Namun, dia menyayangkan rumusan perhitungan upah minimum dalam Permenaker Nomor 18/2022 yang tergolong ruwet. Menurutnya, ada dua alternatif yang dapat dijadikan rumusan perhitungan.

Pertama, kenaikan upah minimum sama dengan inflansi plus pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, ini lazim berlaku di seluruh dunia, di mana nflansi dan pertumbuhan ekonomi yang digunakan adalah Januari – Desember pada tahun berjalan. Alternatif kedua, yaitu dengan menghitung standar biaya hidup (living cost).

Baca Juga Susuri Flyover, Ribuan Warga Muhammadiyah ke Stadion Manahan

“Di mana untuk Indonesia standar biaya hidup tersebut dinamai kebutuhan hidup layak [KHL], yang terdiri atas 64 item KHL mulai dari harga daging, beras, baju, dan seterusnya. Hasil survey kebutuhan hidup layak inilah yang dirundingkan di Dewan Pengupahan untuk direkomendasikan kepada bupati/walikota maupun gubernur,” ujarnya.

Ia juga menyoroti pasal dalam Permenaker Nomor 18/2022 yang menyebut bahwa kenaikan upah minimum maksimal 10%. “Kalimat tentang maksimal 10% ini menimbulkan kebingungan dan pengertian yang keliru tentang upah minimum. Upah minimum itu minimum, tidak ada kata maksimum,” kata Said Iqbal.

Menurutnya, upah minimum di dalam Konvensi ILO Nomor 133 atau UU No 13 Tahun 2003 adalah jaring pengaman (safety net) agar buruh tidak absolut miskin dan pengusaha tidak membayar upah buruh dengan murah dan seenak mereka. Karena itu, negara harus melindungi masyarakat yang akan memasuki dunia kerja dengan menetapkan kebijakan upah minimum. Lebih lanjut, Partai Buruh dan organsiasi serikat buruh menyerukan setiap daerah memperjuangkan agar kenaikan upah minimum tembus 10% sesuai dengan dasar hukum Permenaker Nomor 18 Tahun 2022.

Advertisement

Baca Juga Presiden Jokowi Tiba di Stadion Manahan, Disambut Warga Muhammadiyah

“[Tapi] kalau ditanya sikap Partai Buruh dan organsiasi serikat buruh, sikap kami tetap naik 13%. Pemerintah pusat, gubernur, bupati/wali kota, dan yang paling menentukan adalah gubernur karena yang akan menandatangani SK upah minimum, kami berharap sekali dapat dikabulkan adalah 13% dengan menghitung inflansi dan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

 

Berita ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul Upah 2023 Naik Maksimal 10 Persen, Harapan Buruh Terakomodasi?

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif